Rabu, 06 April 2011

Pacar dan Pernikahan

"Yah, udah maem belum?"
"Bu, dikontrol ya organisasinya. Jangan sampai capek."

Menururt kalian, siapa yang menjadi objek perbincangan di atas? Sepasang kekasihkah atau suami istri? Tampak samar bukan.

Dulu (dan mungkin sampai sekarang) orang menganalogikan pacaran sebagai jalan perantara menuju pernikahan, atau bahasa mudahnya adalah masa penjajakan. Hal ini yang sering secara tidak langsung menimbulkan status "aku milikmu" dan "kamu milikku". Status ini semakin diperkuat dengan simbol atau ritual yang disepakati kedua pasangan. Misalnya saja ngapel, malam mingguan, menggunakan sesuatu yang kembar (baju, gelang, foto profil fb, cincin, dll), mengubah status fb,  gaya ngarit (peluk) ketika boncengan, dan panggilan untuk pacar.

Panggilan untuk pacar pun mulai variatif. Ada yang cinta (cin),  sayang (yank), baby (beibh), ayah-ibu, papah-mamah, gendut (ndut), gembul (mbul), pangeran-putri, dan sebagainya. Simbol tersebut yang kemudian membentuk ciri khas dan menjadikannya beda dengan pasangan yang lain. Ada pun beberapa pendapat bahwa dengan simbol atau kode (khususnya panggilan) yang lucu membuat hubungan mereka menjadi lebih menarik dan tidak hambar.

Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana batas antara hubungan pacar dengan suami istri? Hanya sebatas seks saja kah?  Beberapa teman laki-laki saya pun mengatakan bahwa mereka tidak hanya membutuhkan perasaan saja dalam berhubungan, tetapi juga simbol dari perasaan tersebut. Maka kenapa kemudian pegangan tangan, peluk, mengelus rambut, cium pipi, dahi, bahkan bibir tidak lagi menjadi hal yang tabu. Kegiatan rumah tangga yang lain pun sudah disimulasikan dalam berpacaran, seperti pengaturan anggaran, memasak, sampai nama anak.
  
Lantas setelah semua ritual terjalani, apa yang menjadi kejutan di dalam pernikahan? Selain itu jaminan apa yang bisa dipegang bahwa pacar kalian akan menjadi pasangan hidup kalian? Dan ketika ternyata hubungan kalian berhenti di tengah jalan, kenapa dengan mudahnya simbol dan ritual tersebut terulang untuk orang lain?

Michel Foucault (Miller, 1983 dalam Ritzer, 2010: 117) memberikan penjelasan bahwa seksualitas sebagai bentuk pasti dari hubungan diri dalam pengalaman raga. Individu mempengaruhi tubuh, jiwa, dan pikirannya untuk mentransformasikan diri atau bereaksi dalam bagian tertentu dari kesempurnaan, kebahagiaan, kemurnian, kekuatan supranatural, dan lain-lain. Hal ini lantas menjadikan sentuhan fisik sebagai simbol dari pengekspresian cinta.

Tidak bisa dipungkuri bahwa cinta telah menjadi kebutuhan primer, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Namun tidak semata-mata atas dasar cinta, batas kesakralan antara pacar dan pernikahan menjadi kabur. Belum lagi Indonesia adalah bangsa yang masih memegang niai ketimuran.

Pacaran sih boleh saja, dan itu adalah kebijakan kalian masing-masing untuk menentukan simbol dan ritual yang akan dianut. Tapi perlu dicatat bahwa pacar hanyalah figuran dari cerita hidupmu. Karena pernikahan  adalah titik puncak keyakinan hati.

Referensi:
Ritzer, George. 2010. The Postmodern Social Theory atau Teori Sosial Postmodern. Terj. Muhammad Taufik. Yogyakarta: Kreasi Wacana

*oleh: malam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar