Minggu, 27 Mei 2012

PESAN DAN KESAN HUT HIMA DILOGI KE-5


Hari ulang tahun Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi telah diselenggarakan tadi malam, pada Sabtu, 26 Mei 2012. Menurut ketua panitia, Gurindra Budi Prasetyo konsepan ULTAH HIMA DILOGI dibuat simple yang penting dapat mempererat kekeluargaan di pendidikan sosiologi sendiri.
            Acara pentas seni diikuti oleh mahasiswa pendidikan sosiologi dari angkatan 2008-2011. Tidak hanya itu, alumnus dari pendidikan sosiologi pun ikut berpartisipasi untuk datang. Pesan dan kesan dari para tamu sangat beragam, hal ini terbukti dengan anggapan dari beberapa narasumber yang kami temui.
            NN dan FT (‘07) mengucapkan semoga Pendidikan sosiologi tetap kompak, jaga perjuangan kakak angkatan maupun alumnus-alumnus agar tetap berprestasi. Kesan yang diterima oleh NN yaitu adanya rasa kebosanan maupun acara di anggap ‘garing’ karena randon acara yang masih berganti-ganti, durasi kurang jelas serta antusias dari penonton kurang. Selain itu acara dianggap kurang meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Koordinasi dari teman-teman panitia dalam menyambut para tamu dianggap kurang ramah oleh beberapa alumnus. Saran yang kami peroleh yaitu tradisi lomba membuat tumpeng hendaknya tetap terlaksana, agar dapat menambah keakraban karena tumpeng dapat di bagi-bagi antar mahasiswa Pendidikan Sosiologi.
            Setali tiga uang dengan para alumnus, MD dkk (’08) beranggapan bahwa antusias dari para tamu kurang. Dari segi acara pun, MD dkk berpendapat acara dimulai terlalu malam. Randon acara yang berganti-ganti menjadi salah satu kendala yang menyebabkan pentas terlalu mulur dan selesai larut malam sehinngga para tamu pulang sebelum acara selesai. Selain pentas seni, perlombaan yang dilaksanakan oleh panitia dianggap kurang berbobot. “Lomba makan kerupuk dan lomba joget balon itu lomba Agustusan. Untuk tingkat mahasiswa seharusnya lomba yang dilaksanakan lebih berbobot seperti lomba debat mengenai Sosiologi dan lainnya. Sehingga kami pun malas untuk mengikuti lomba. Kesannya seperti lomba yang ga jelas. Sebenarnya masih banyak lomba yang dapat dilaksanakan untuk acara HUT HIMA”. Pesan yang disampaikan oleh MD dkk untuk HIMA Pendidikan Sosiologi yaitu satukanlah semua angkatan dan tetap semangat.
            Berbeda dengan anggapan narasumber sebelumnya, MA dkk (’10) beranggapan bahwa acara tahun ini sudah bagus. Konsep acara tidak terlalu jauh dengan perayaan HUT HIMA tahun sebelumnya. Namun terdapat beberapa kekecewaan yang mereka rasakan yaitu kurangnya efek panggung seperti ‘lighting’ yang dirasa sangat monoton. Serta acara yang molor yang menyebabkan selesai larut malam. Ucapan dan doa yang mereka sampaikan adalah HIMA DILOGI harus mengalami perubahan yang lebih baik.
            Setelah kami konfirmasi, saudari Tisya Maharani selaku koordinator acara HUT HIMA DILOGI ke-5 menyampaikan bahwa adanya kendala dalam melaksanakan acara tersebut, antara lain yaitu kurangnya koordinasi antar sie. Selain itu dalam mempersiapkan perlengkapan acara masih dianggap kurang baik. Seperti lomba bola diganti dengan balon karena bola yang akan digunakan ternyata digunakan pada acara lain. Konsep lomba pun sederhana karena keterbatasan dana untuk perayaan HUT HIMA. Mengenai tradisi lomba tumpeng yang selalu dilaksanakan tiap tahun dari awal terbentuknya HIMA dan sekarang tidak dilaksanakan, saudari Tisya beranggapan karena lomba tumpeng dianggap lebih ribet dan membutuhkan biaya yang lebih banyak.
            Selain itu, persiapan mengenai acara dianggap kurang baik. Hal ini disebabkan karena kurangnya kerjasama dari panitia dan dari pengisi acara (pensi) yang menyebabkan randon acara berubah serta acara berjalan mulur dari waktu yang telah ditentukan. Mengenai sambutan kepada para tamu, pihak panitia mendapat kendala dengan ketidaktauan siapa sajakah kakak angkatan maupun para alumnus yang datang pada acara tersebut. Saudari Tisya berharap semoga sosiologi menjadi sebuah keluarga yang membuat orang-orang di dalamnya menjadi satu. 

Rabu, 23 Mei 2012

“DILEMATIKA RUU KKG (KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER”

FIS UNY. Ruang Ki Hajar Dewantara bergemuruh ketika acara lintas universitas (10/05) bersama ibu Prof.Dr. Farida Hanum, M.Si berlangsung. Acara ini mengangkat tema Delematika Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG)  yang diadakan oleh HIMA Pendidikan Sosiologi. Peserta  acara ini berjumlah sekitar 75 mahasiswa dari berbagai universitas yang termasuk dalam Jaringan Mahasiswa  Sosiologi se-Jawa (JMSJ).
            Antusiasme peserta dalam mengikuti acara ini cukup baik. Terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan para peserta. Akan tetapi, karena keterbatasan waktu pertanyaan-pertanyaan itu hanya tertampung dalam 1 termin pertanyaan. Satu termin pertanyaan ini berisikan 3 penanya.
            Selama acara, semua fikiran terfokus memahami apa itu gender? Apa itu kesetaraan dan keadilan? Dan mengapa harus ada RUU KKG di Indonesia? Sesuai dengan tema yang di usung. Acara ini di gelar karena seringkali masyarakat Indonesia menganggap hal ini hanya ditujukan pada mereka kaum feminis.
            Prof.Dr. Farida Hanum,M.Si mengatakan gender merupakan kontrak budaya masyarakat yang membedakan peran, hak, kewajiban, dan hal lainnya. Sedangkan kesetaraan merupakan posisi dimana pria maupun wanita mendapatkan perlakuan yang sama, baik mengenai profesi, jabatan, peran, dll. Begitu pula dengan keadilan yang konsepnya hampir sama dengan kesetaraan.
            Acara ini mendapat respon yang cukup baik dari teman-teman mahasiswa. Terlihat dari banyaknya peserta, sebagian dari mereka bukan merupakan mahasiswa prodi pendidikan sosiologi. Namun jangan salah, kekritisan mereka tidak kalah dengan mahasiswa prodi sosiologi. Terbukti dari 3 porsi penanya, 2 di antaranya berasal dari Fakultas Teknik dan fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.













Senin, 21 Mei 2012

Pakaian Sebagai Media Komunikasi


Pakaian sebagai media komunikasi
Pakaian merupakan media komunikasi yang penting. stone mengemukakan, pakaian menyampaikan pesan. Pakaian bisa dilihat sebelum kata-kata terdengar. Pesan yang dibawa oleh pakaian bergantung pada sejumlah variabel, seperti latar belakang budaya, pengalaman dan sebagainya. Sebagai media yang komunikatif, pakaian memiliki beberapa fungsi. Kefgen dan Specht menyebutkan ada tiga dimensi informasi tentang individu yang disebabkan oleh pakaian, yaitu :
1.      Pakaian melambangkan dan mengkomunikasikan informasi tentang emosi komunikator. Hal ini bisa dilihat dengan adanya istilah-istilah Glad Rags (pakaian ceria), Widow’s Weed (pakaian berkabung), dan Sunday Clothes (pakaian hari minggu atau baju santai).
2.      Pakaian juga berpengaruh terhadap tingkah laku pemakainya sebagaimana juga tingkah laku orang yang menaggapinya.
3.      Pakaian berfungsi untuk membedakan sesorang dengan orang lain atau kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Zweig mengemukakan, kelompok umur yang berbeda akan membedakan pula kebiasaan mereka dalam hal berpakaian. Remaja usia 20-25 tahun akan membelanjakan uangnya untuk membeli pakaian dua kali dibanding orang yang berusia 40-45 tahun, dan tiga kali dibanding orang tua 65-70 tahun. Anak-anak muda biasanya menggunakan pakaian yang bervariasi dan mencolok, sedangkan orang tua lebih suka memakai pakaian yang sederhana dan kuno. Dosen-dosen muda biasanya enggan memakai baju yang menunjukkan identitasnya sebagai pegawai negeri, sementara senior hampir setiap hari menggunakan safari.
Pakaian sebagai media komunikasi dibuktikan pula lewat penelitian gibbins (1969). Menurut Gibbins, ada kategori pengertian yang dapat ditimbulkan. Pertama fashionability, derajat penerimaan orang lain terhadap pakaian seseorang sebagai masa kini, cerah, dan cantik. Kedua sociability, derajat dimana pakaian dapat menjelaskan peran sosial pemakaian dan membuatnya tampak feminim atau maskulin. Ketiga formlity, derajat yang menentukan apakah pakain seseorang akan membuatnya tampak resmi atau santai.
Reed (1973) menggunakan metodologi lain untuk melukiskan kategori pakaian, sikap dan karakteristik kepribadiannya, hasilnya terbagi dalam empat kategori yaitu :
1.      Fashion
Wanita kategori ini memilki perhatian besar kepada pakaian, dan membelanjakan sejumlah besar penghasilannya untuk pakaian. Kebanyakan wanita seperti ini cenderung tidak sependapat dengan kedua orang tuanya dalam masalah sosial, tidak menyukai kegiatan religius, cenderung menganut filosofis new left, tetapi mereka gemar terlibat program kemanusiaan.
2.      Low fashion
Termasuk dalam kategori ini adalah wanita yang menginginkan dirinya dianggap menarik. Kelompok ini cenderung moderat.
3.      Non-fashion
Wanita non-fashion berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah. Mereka lebih dogmatis, konservatif dalam politik, dan cenderung bersikap machhiavelli.
4.      Counter fashion
Kategori terakhir ini terdiri dari wanita-wanita muda yang paling tidak tertarik pada pakaian. Mereka dipandang sebagai orang yang individualistik, berhati-hati, lembut, sabar, gelisah, dan liberal. Mereka juga menganggap dirinya sebagai orang yang kurang formal dan kurang sophisticated.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa pakaian selain bisa sebagai media dalam berkomunikasi, pakaian juga menggambarkan ciri kepribadian seseorang. Dilihat dari bagaimana seseorang itu berpakaian. Selain itu, pakaian merupakan faktor yang penting pula dalam membangun kesan pertama. Olek karena itu berpakaianlah yang baik karena akan bisa menggambarkan pula bagaimana anda berkomunikasi dengan yang lain.
 Anda masuk dalam kategori cara berpakaian yang mana...............????????
Referensi:
Ahmad, Sihabuddin. 2011. Komunikasi Antar Budaya (Satu Perspektif Multidimensi). Jakarta: PT. Bumi Aksara

Senin, 07 Mei 2012

AYO! JADI GURU PLUS-PLUS

Teman, apa yang kalian pikirkan sebagai mahasiswa pendidikan untuk 5 tahun kedepannya? Sebagian kecil dari kalian mungkin belum tahu akan kemana arah hidupnya, namun sebagian yang lain telah menentukan mau dibawa kemana hidup mereka. Orang yang menyadari posisinya sebagai mahasiswa pendidikan, dalam hatinya akan timbul kesadaran jikalau suatu saat ia akan menjadi guru. Pertanyaannya, seperti apakah kita saat menjadi guru nanti? Dan apa yang akan kita lakukan sebagai guru?
Dunia pendidikan tak pernah ketinggalan dari yang namanya guru. Profesi guru yang begitu mulia membuat guru mendapat julukan “pahlawan tanpa tanda jasa”.  Sebagai seorang pendidik, tanggung jawab guru begitu besar. Peran sertanya dalam sekolah maupun masyarakat selalu dinanti-nanti.
Seiring berjalannya waktu, profesi guru kini dipandang tidak semulia dahulu. Profesi guru dianggap sebagai  pekerjaan yang biasa saja. Guru kalah pamor dari dokter, notaris, arsitek, maupun pekerjaan lain yang mendapat gaji lebih banyak dari seorang guru.  Permasalahan tersebut membuat generasi muda masa kini kurang minatnya untuk menjadi seorang guru.
Permasalahan yang kini nyata terlihat adalah banyaknya guru yang tidak menjalankan profesinya dengan baik. Guru dituntut bertanggung jawab dan berperan serta di sekolah maupun masyarakat, namun, guru saat ini lebih banyak berperan di sekolah daripada di masyarakat. Buruknya lagi, masih terdapat guru yang kurang berperan di sekolah. Mereka hanya mengajar namun tidak mendidik.
Problematika- problematika itu membuat pentingnya seorang guru yang plus-plus. Plus dalam mendidik dan mengajar dan plus dalam peran sertanya di masyarakat.  Peran serta guru di sekolah bisa disebut dengan 3M yaitu  Mendidik, Mengajar, dan Melatih. Tiga komponen itu yang dapat menjadi dasar awal guru untuk menjalankan profesinya di sekolah.  kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru yaitu, kempetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Kompetensi sosial inilah yang dapat membantu guru untuk berperan di masyarakat.
Mengingat tanggung jawab guru yang begitu besar, harus disadari pula bahwa guru juga memegang tanggung jawab di sekolah untuk membawa anak didik menuju arah pendidikan yang lebih baik., meningkatkan kualitas mereka, dan membina mereka agar menjadi pribadi yang sesuai dengan harapan masyarakat. Bersangkutan dengan anak didik maka akan terhubung juga dengan cara pembelajaran di kelas. Pembelajaran di kelas ini, yang akan menjadi salah satu penentuan apakah guru itu plus-plus atau biasa saja. Mengapa bisa menentukan? Karena siswa yang akan menilai guru secara langsung, dan cara pembelajaran di kelas akan berdampak langsung pada siswa.
Salah satu cara guru plus-plus dalam metode mendidik adalah menggunakan joyful learning. Pembelajaran yang menyenangkan atau joyful learning yaitu menicptakan pembelajaran sedemikian rupa sehingga anak didik menjadi betah di kelas karena pembelajaran yang dijalani menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan berarti pembelajaran yang membuat anak didik tidak takut salah, ditertawakan, diremehkan, tertekan, sebaliknya anak didik berani berbuat dan mencoba, bertanya, mengemukakan pendapat/gagasan dan mempertanyakan gagasan orang lain. Pembelajaran yang menyenangkan merupakan solusi jitu untuk mengembangkan otak kanan dan otak kiri secara seimbang, caranya dengan menciptakan suasana pembelajaran yang relaks (tidak tegang), lingkungan yang aman untuk melakukan kesalahan, mengaitkan materi ajar dengan kehidupan mereka, dan belajar dengan balutan humor, puisi, lagu, maupun teka-teki.
Demikianlah beberapa uraian untuk menyadarkan kita betapa pentingnya seorang guru. Dunia pendidikan tidak pernah berhenti untuk membutuhkan seorang guru, oleh karena itu ayo kita siapkan diri kita menjadi guru plus-plus yang bermanfaat bagi anak didik kita dan masyarakat. Menjadi guru yang plus mengajarnya, plus ilmunya dan plus strateginya.(EDS)

Sabtu, 05 Mei 2012

Spirit Jurnalis Muda

Berbagai tips dan trik memukau untuk menjadi jurnalistik hebat diutarakan pada saat workshop jurnalistik bertajuk “Mahasiswa Gak Nulis, Gak Kristis, Gak Ngeksis” yang diselenggarakan Hima Pendidikan Sosiologi pada tanggal 5 Mei 2012. Bertujuan untuk membantu mahasiswa memahami berbagai seluk beluk dunia jurnalistik. Seperti yang dikemukakan oleh Rizka Nur Sholiha sebagai ketua pelaksana workshop jurnalistik ini “Sebagai mahasiswa, kita harus memberikan kontribusi pada bangsa minimal melalui tulisan”
Banyak hal yang menarik juga pada workshop jurnalistik yang bertempat di Ruang Ki Hajar Dewantara Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Bapak Agung Purwandono yang menjadi pembicara mengungkapkan berbagai pengalaman beliau yang jelas sudah banyak malang melintang di dunia jurnalistik. Beliau mengungkapkan pula pada saat membimbing anak SMA yang melakukan reportasi di berbagai tempat dan berbagai narasumber yang mereka harus hadapi, namun mereka dapat melewatinya dengan baik. Sungguh luar biasa anak SMA saja mau keluar dari zona nyaman mereka, masa kita mahasiswa tidak bisa. Ayo semangat jurnalis muda...