Senin, 17 Juni 2013

Ibnu Khaldun dan Ashobiyah


Ibnu Khaldun dan Ashobiyah
Seorang sarjana sosiologi dari Italia, Gumplowiez melalui penelitiannya yang cukup panjang, berpendapat, ”Kami ingin membuktikan bahwa sebelum Auguste Comte (1798-1857 M) dan Giovani Vico (1668-1744 M) telah datang seorang muslim yang tunduk pada ajaran agamanya. Dia telah mempelajari gejala-gejala sosial dengan akalnya yang cemerlang. Apa yang ditulisnya itulah yang kini disebut sosiologi.” Dia-lah Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan muslim yang lebih dekat pemikirannya dengan ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi, telah memiliki bebarapa karya, dan salah satunya adalah buku yang berjudul “Muqaddimah”. Buku ini cukup banyak memberikan dasar bagi lahirnya disiplin sosiologi. Manusia, menurut Khaldun (dalam bukunya Muqaddimah), pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan mayarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan. Sebagai makhluk sosial, manusia memliki rasa solidaritas dengan kelompoknya. Solidaritas atau kohesi sosial ini yang disebut ashobiyah oleh Khaldun. Konsep ashobiyah ini juga sangat relevan dengan perubahan sosial masyarakat pada masa kini. Khaldun mamandang bahwa kohesi sosial atau ashobiyah masyarakat tradisional dan primitif atau Khaldun menyebutnya masyarakat Badui lebih kuat daripada masyarakat kota. Kondisi fisik tempat masyarakat Badui tinggal turut mempengaruhi kehidupan beragama mereka. Mayarakat Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang Kota dan hidup dengan meningglakan makanan yang mewah, memiliki tingkat ketakwaan yang lebih dibandingkan masyarakat Kota. Mereka juga lebih berani daripada penduduk kota karena penduduk Kota malas dan suka yang mudah-mudah serta larut dalam kenikmatan wal kemewahan. Hal ini yang menjadikan masyarakat Badui memiliki solidaritas sosial yang sanga kuat, sementara kehidupan masyarakat kota yang lebih bersifat individualis berdampak pada lemahnya ikatan solidaritas sosial mereka. Namun, seiring berjalannya waktu kelompok Badui yang hidup serba terbatas, sederhana, tidak banyak menikmati kemewahan dan kesenagan menyebabkan mereka terdorong untuk memperbaiki hidup mereka dengan melakukan urbanisasi serta ekspansi ke masyarakat kota. Dengan solidaritas yang kuat, masyarakat Badui mampu mengalahkan dan menyingkirkan masyarakat Kota yang solidaritas sosialnya lemah. Orang Badui kemudian menjadi masyarakat kota yang hidup serba nikmat dan mewah yang menyebabkan mereka lupa akan pentingnya solidaritas sosial dan lebih bersifat idividualis. Akhirnya, orang-orang Badui yang sudah menjadi masyarakat Kota inipun bernasib sama seperti masyarakat Kota yang sebelumnya berhasil mereka taklukan. Perubahan sosial seperti inilah yang kini sering dialami masyarakat Indonesia. Ketika orang-orang desa yang memiliki tingkat ashobiyah kuat berpindah ke kota yang notabene tingkat ashobiyah-nya lemah, mereka (masyarakat desa) akan cenderung berubah menjadi lebih individualis dan mengabaikan solidaritas sosial yang sebelumnya mereka miliki secara kuat.

Mahasiswa Dilogi







KUNJUNGAN KE KAMPUS IJO ROYO-ROYO


KUNJUNGAN KE KAMPUS IJO ROYO-ROYO

Kamis 28 Maret 2013 keluarga Hima Dilogi UNY mengadakan kunjungan ke universitas sebelas maret solo. Rombongan berangkat pukul 08.00 WIB menggunakan bus kemudian sekitar pukul 10.00 WIB sampai di UNS.  Rombongan didampingi oleh Bapak Grendi Hendratomo, M.M., M.A. dan Bapak Amika.  Setiba di UNS sambutan hangat diberikan kepada rombongan hima dilogi salah satunya dengan penampilan kenistan yaitu grup vokal dari hima sosioantro uns. Acara pertama ialah sambutan dari Libriana Candra Dewi selaku ketua hima dilogi, Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi UNY Bapak Grendi Hendrastomo, M.M., M.A., ketua hima pendidikan sosio antro Alan, dan ketua prodi pend sosio antro Bapak Karno. Setelah itu acara dilanjutkan dengan pengenalan prodi pendidikan sosiologi antropologi dari Bapak Karno mengenai sistem perkuliahan di prodi tersebut. Hal yang menjadi perbedaan antara Pendidikan Sosiologi UNY dengan Pendidikan Sosiologi antropologi UNS ialah sistem ujian dari Pendidikan Sosioantropologi UNS  yang melakukan uji kompetensi setiap 4 pertemuan sekali juga mengenai pertemuan tatap muka di kelas sebanyak 20 pertemuan. Sedangkan UNY sendiri menggunakan sistem Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester, pertemuan tatap muka juga sebanyak 16 pertemuan.
Tak hanya itu acara dilanjutkan dengan tanya jawab antar hima dilogi UNY dengan pend sosio antro. Tanya jawab itupun memunculkan usulan kerjasama yang lebih lanjut salah satunya LCCS (Lomba Cerdas Cermat Sosiologi). Acara di dalam ruangan diakhiri dengan penampilan dari kedua belah pihak. UNY dengan penampilan saudari Desi Kristianingsih dan kawan-kawan yang menyanyikan lagu begitu indah. Sedangkan UNS dengan Kenistan lagu Pencuri hati dan Pasti Bisa yang dinyanyikan bersama oleh seluruh audiens di ruang pertemuan.
Acara di luar ruangan yaitu pengenalan kampus FKIP UNS. Hal berbeda pun ditemui yaitu adanya tempat peribadatan berbagai agama di Indonesia yaitu gereja, vihara, pure, dan masjid yang memang ada dalam 1 wilayah. Acara diakhiri dengan foto bersama antar organisasi dan jabat tangan sebagai awal pertemuan hima dilogi uny dengan hima pend Sosio Antro UNS.

Gemerlapnya Dunia Sarkem












Pasar Kembang merupakan sebuah nama yang mungkin sudah cukup familiar bagi masyarakat Yogyakarta bahkan Masyarakat Indonesia dan dunia. Ya, tentu saja karena Pasar kembang yang juga sering disebut Sarkem adalah sebuah nama jalan yang dikenal sebagai areal prostitusi di Kota Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan nama Sarkem yang atau ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang.
Sarkem sebagai lokasi prostitusi di Yogyakarta telah ada sejak sekitar 125 tahun yang lalu. Oleh karena itu tentu saja lokasi ini memiliki nilai historis yang juga memperkaya sejarah di Kota Yogyakarta. Sesuai dengan sejarah yang beredar di kalangan masyarakat Yogyakarta, Sarkem telah ada sejak Tahun 1818, hal tersebut berarti kegiatan prostitusi ini telah ada sejak Jaman Belanda. Tentu saja karena area ini memang sengaja dirancang untuk lokasi “jajan” para pekerja. Ketika itu sedang berlangsung proyek pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan Yogyakarta dengan kota-kota lainnya. Dengan harapan pemerintah Belanda agar para pekerja proyek tersebut menghabiskan uang gajinya agar kembali menjadi pemasukan Pemerintah belanda, maka di bangunlah Pasar kembang sebagai sarana prostitusi agar gaji pekerja dapat dibelanjakan disana.
Seiring perkembangan jaman, lokasi tersebut seakan dipetakan menjadi kawasan prostitusi di Yogyakarta. Sebenarnya setelah jaman kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah berupaya memberikan penyuluhan terhadap “pekerja” di pasar kembang agar menghentikan kegiatannya. Namun disadari maupun tidak, keberadaan Pasar kembang telah membawa dampak ekonomi dari sistem mata pencaharian warga disekitarnya, sehingga upaya penutupan tersebut menjadi sulit direalisasikan. Bagaimana tidak, dengan adanya kawasan pasar kembang tersebut juga dimanfaatkan warga sekitar untuk membuka hotel, rumah makan, warung sebagai penunjang kehidupan mereka. Hal tersebut diperkuat lokasinya yang dekat dengan pusat Kota Yogyakarta terutama di kawasan Malioboro yang menjadi daya tarik wisata di Yogyakarta.
Meskipun demikian terkenalnya Pasar Kembang sebagai kawasan prostitusi di Kota Yogyakarta, namun pemerintah Kota saat ini dalam hal ini Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak mengharapkan apabila Lokasi Pasar kembang diangkat sebagai kawasan wisata prostitusi. Beliau lebih menghendaki kawasan ini lebih diangkat sebagai kawasan wisata yang menyediakan oleh-oleh serta kesenian dan budaya khas Yogyakarta. Hal tersebut tentu saja sangat beralasan karena tidak ingin mengangkat citra Kota Yogyakarta menjadi Kota yang buruk. Wisatawan Yogyakarta kadang memang dianjurkan untuk mengunjungi lokasi ini, namun diharapkan dengan kunjungan tersebut para wisatawan dapat mendapat pengalaman dari sisi historis bukan dari segi prostitusinya.
 

Seputar UNY

Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kembali menelurkan putra-putri terbaiknya dengan mewisuda 1.374 lulusan. Mereka terdiri atas mahasiswa jenjang D-3, S-1, S-2, dan S-3.

Secara rinci, ke-1.374 wisudawan terdiri atas 11 lulusan S-3, 66 mahasiswa S-2, 137 mahasiswa S-1 nonkependidikan, 1.076 lulusan S-1 kependidikan, dan 84 lulusan diploma. Adapun mereka tersebar dalam 77 mahasiswa Pascasarjana, mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) sebanyak 133 orang, Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) sejumlah 241 orang, Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA) 191 orang, Fakultas Ilmu Sosial (FIS) 132 orang, Fakultas Teknik (FT) 225 orang, Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) 212 orang, dan Fakultas Ekonomi (FE) 163 orang.

Pada wisuda kali ini, terdapat 293 wisudawan yang meraih nilai cumlaude. Mereka terdiri atas 19 mahasiswa Pascasarjana, FIP 13 orang, FBS 38 orang, FMIPA 64 orang, FIS 56 orang, FT 18 orang, FIK 27 orang, dan FE 58 orang. Demikian, seperti dikutip dari laman UNY, Senin (3/6/2013).

Untuk nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi jenjang S-3 dicapai oleh Anas Arfandi  dari program studi (prodi) Pendidikan Teknologi dan Kejuruan dengan IPK 3,84. Sementara pada jenjang S-2 diraih oleh Arif Jamali (Prodi Manajemen Pendidikan) dengan IPK 3,90.

Sedangkan untuk jenjang S-1, predikat cumlaude berhasil diraih Elisabeth Pratidhina Founda Noviani (Prodi Pendidikan Fisika) dengan IPK 3,94. Pada jenjang D-3, peraih IPK tertinggi diraih Deni Ratnasari dengan IPK 3,58.

Wisudawan dengan waktu studi tercepat untuk jenjang S-3 diraih Nuril Furkan dari jurusan Ilmu Pendidikan. Dia berhasil menyelesaikan program doktor dalam waktu studi dua tahun delapan bulan.

Di jenjang S-2, wisudawan dengan waktu studi tercepat diraih Kadek Sukiyasa dari prodi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Kadek berhasil menyandang gelar master dalam waktu satu tahun tujuh bulan.

Sementara itu, Eka Sulistyawati dari prodi Pendidikan Matematika dinobatkan sebagai lulusan S-1 dengan waktu studi tercepat, yakni tiga tahun tujuh bulan. Untuk jenjang D-3, predikat lulusan tercepat diraih Deni Ratnasari dari prodi Pemasaran dalam waktu dua tahun delapan bulan.

Lulusan termuda dalam wisuda UNY kali ini jatuh pada Margaretha Madha Melissa dari Prodi Pendidikan Matematika. Pada usia 20 tahun lima bulan, dia telah berhasil menyandang gelar S.Pd.(mrg)

Kamis, 06 Juni 2013

Konsep Slametan dalam Masyarakat Jawa


Slametan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, menurut Clifford Geertz slamet berarti gak ono opo-opo (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun).
Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnographer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (tolak bala).

Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu atau keluarga bisa nampak ketika mereka mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam kandungan), puputan (lepas pusar), dan masih banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai praktik-praktik seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton praktik yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji) tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa (dhanyang). Dengan kata lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin hubungan damai dengan dunia ruh setempat.
Dapat dipahami bahwa slametan seringkali merupakan pesta komunal sebagaimana disebutkan pada slametan dalam skala besar. Hanya saja, slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai kebersamaannya, tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian “buah tangan”, jajan pasar, dan apapun dalam bentuk makanan. Yang menarik adalah ketika warga desa mendatangi slametan bukanlah kemungkinan untuk makan bersama sebagai wujud kebersamaan, tetapi justru keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah (berkat).
Slametan dimaknai sebagai sebuah konsep dan ritual yang selanjutnya dimaknai dalam bingkai yang lebih luas, yakni penciptaan tata, tertib, aman (selamat), dan wilujeng (selamat). Bahkan, orde baru yang syarat dengan tradisi Jawa, menginterpretasikan konsep ini dengan menciptakan satuan-satuan pengamanan dengan maksud menciptakan ketertiban, in order condition dengan dalih keselamatan bangsa.

Praktik Ritual Slametan
Di sini akan ditampilkan beragam ritual slametan, yang merupakan representasi dari slametan yang skupnya kecil (individual) dan slametan kolosal (melibatkan orang banyak). Hal ini penting karena jenis ritual slametan dalam tradisi Jawa sangat banyak.

1. Ngupati dan Mithoni
Dalam tradisi Jawa, terdapat slametan yang bernama ngupati atau kupatan. Ngupati berasal darikata kupat, yakni nama makanan yang terbuat dari beras dengan daun kelapa (janur) sebagai pembungkus. Slametan ini biasanya dilakukan di saat usia kehamilan sekitar 4 (empat) bulan. Tradisi ngupati adalah slametan yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar anak yang masih dalam kandungan ibu tersebut memiliki kualitas baik, sesuai dengan harapan orang tua.
Slametan ini biasanya menggunakan kupat sebagai hidangan utama. Dalam slametan ini, penyelenggara (tuan rumah) mengundang tetangga dekat, sekitar radius 50 meter untuk berdoa kepada Tuhan yang kemudian dilanjutkan dengan menyuguhkan kupat dan berbagai variasi lauk dan sayur sebagai pelengkap hidangan.
    Tradisi serupa dapat dijumpai dengan istilah mithoniMithoni berasal dari kata pitu (tujuh). Sebuah ritual hajat slametan pada saat usia kehamilan tujuh bulan. Dalam acara tersebut, disiapkan sebuah kelapa gading yang digambari wajah Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Maksud dan tujuannya agar bayi memiliki wajah seperti Dewa Kamajaya jika laki-laki, dan seperti Dewi Kamaratih jika perempuan.
      Di samping kelapa gading, dalam slametan tersebut disajikan kluban / kuluban / uraban / gudangan (campuan antara taoge, kacang panjang, bayam, wortel, kelapa parut yang dibumbui), lauk-pauk (ikan, tempe, tahun), dan rujak buah. Kepercayaan mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di saat ibu (yang mengandung bayi yang di-slameti) makan rujak, jika dia merasa pedas atau kepedasan, maka besar kemungkinan bayi yang dikandung adalah laki-laki, demikian juga sebaliknya.
      Dalam acara mithoni, ibu tertua mulai memandikan ibu yang mengandung (mithoni) dengan air kembang (bunga) setaman (air yang ditaburi bunga mawar, melati, kenanga, dan kanthil). Proses ini disebut tingkeban, di mana ibu yang mengandung (mithoni) berganti tujuh kain (baju). Setelah selesai, dilanjutkan dengan berdoa dan makan nasi dengan urap dan rujak. Slametan ini sebagaimana disebut di atas sebagai upaya untuk memohon kepada Tuhan agar anak yang dikandung nantinya menjadi anak yang dapat mikul duwur mendhem jero (mengangkat derajat) orangtua dan keluarga.

2. Tradisi Suran
      Suran berasal dari kata Sura, yakni nama salah satu bulan dalam kalender Jawa, yang dalam almanak Hijriah disebut muharram. Sementara istilah suran memiliki makna kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada bulan Sura.
      Dalam tradisi Jawa, bulan Sura memiliki makna spesial. Bulan ini dinyatakan sebagai bulan paling keramat. Di bulan ini ada beberapa aktivitas yang pantang dilakukan dan wajib dilakukan. Orang Jawa pantang melakukan mantu (pesta pernikahan), pindahan (pindah rumah), mbangun (membangun rumah), dan kegiatan semacamnya pada bulan ini. Sebaliknya, sebagian orang Jawa melakukan berbagai ritual pada bulan Sura.
      Tradisi slametan sebagaimana disebutkan di atas masih rutin dilakukan terutama pada masyarakat abangan Jawa dan di lingkungan Kraton di Jawa. Kirab (pengarakan), jamas (penyucian) pusaka dilaksanakan pada bulan ini. Kirab pusaka Kraton Surakarta Hadiningrat dilaksanakan secara tetap setiap malam menjelang 1 Sura Tahun Baru Jawa, yang dimulai kira-kira jam 12 malam hingga jam 4 pagi. Kirab pusaka adalah ritual (slametan) dengan cara pawai atau arak-arakan beberapa pusaka keraton Surakarta Hadiningrat yang memiliki daya magis atau daya prabawa yang dipercaya memiliki kesaktian (keampuhan). Pusaka yang di-kirab adalah peninggalan Majapahit dan sebelumnya.
      Sebelum kirab dimulai, diadakan slametan dan sesaji murwah warsa di keraton. Rute kitab adalah Alun-alun Utara, Gladag, Sangkrah, Jalan Pasar Kliwon, Gading, Nonongan, Jalan Slamet Riyadi, ke arah timur menuju Gladag lagi, Alun-alun Utara, Kamandungan, dan masuk Keraton. Jalan yang dilalui jalan yang mengelilingi Keraton Surakarta dengan arah Pradiksana, yakni selalu berada di sebelah kanan Kraton.
      Dalam pelaksanaan kirab, yang paling di depan adalah Kebo Bule Kiai Slamet (Kerbau Bule yang diberi nama Kiai Slamet) sebagai cucuking lampah (pendahulu perjalanan). Di belakannya diikuti oleh para pengarak pembawa pusaka atau dikenal dengan nama Gajah Ngoling. Semula Kiai Slamet sebenarnya adalah nama sebuah pusaka yang berbentuk tombak, sedangkan Kebo Bule adalah nama dari embang (sarung) dari pusaka tersebut.
      Upacara kirab pusaka, mula-mula adalah kegiatan tambahan pada acara wilujeng nagari (keselamatan negara). Sebuah hajat kenegaraan yang dilaksanakan pada setiap tahun sejak zaman Majapahit. Tujuan kegiatan ini adalah memohon keselamatan negara. Pada jaman Majapahit hingga jaman Demak, wilujeng nagari bernama Murwa Warsa, atau RajawedhaSlametan ini menggunakan sesaji dari berbagai suguhan makanan, yang di antaranya adalah daging kerbau (mahesa). Dengan menggunakan dominasi daging mahesa (kerbau), maka upacara slametan ini disebut dengan Mahesa Lawung. Upacara ini diselenggarakan di salah satu hutan keramat, yakni Krendawahana. Salah satu hutan yang dipercayai oleh masyarakat Jawa bagian selatan sebagai salah satu pusat "lelembut" (dunia makhluk yang tidak tampak).
      Sesaji dan persembahan dalam tradisi Jawa, istilah yang sangat akrab adalah sesaji. Istilah lainnya dikenal dengan sajen. Sajen atau sesaji adalah persembahan pada makhluk halus sebagai upaya pendekatan agar keberadaan mereka tidak menggangu manusia. Dengan kata lain, tujuan sajen adalah untuk keselamatan.

3. Slametan dan Salamah dalam Islam
Salam berasal dari salima – yaslamu – salaman – salamat yang berarti selamat, bebas, menerima, rela (puas), damai. Terdapat 155 ayat yang secara derivatif berasal dari kata salima. QS. 7: 46, “Di antara keduanya ada batas, di atas a’raf itu ada orang yang mereka kenal, masing-masing dengan tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga dengan ‘salamun alaikum’…..”. Kata salamun alaikum memiliki arti keselamatan dan rasa aman selalu menyertai kalian (penduduk surga). Selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan kata salam berarti luput dari kekurangan, kerakusan, dan aib. Kata selamat diucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan pada kekurangan atau kecelakaan. Salam atau damai yang demikian adalah “damai positif” dan juga “damai aktif”, yakni bukan saja terhindar dari keburukan, tetapi lebih dari itu, dapat meraih kebajikan atau kesuksesan.

      Kedamaian, keamanan, dan kesentausaan adalah cita-cita dan tujuan setiap makhluk hidup. Oleh karena itu, Allah mengajak hamba-Nya ke negeri yang damai (dar al-salam) (QS. Yunus: 25). Allah sendiri adalah pangkalan kedamaian, keselamatan, dan kesentausaan (QS. al-Hasyr: 23). Tanpa adanya as-Salam (Allah) atau tanpa salam (kedamaian jiwa manusia), maka semuanya akan kacau, rusak, bahkan kehidupan akan berhenti. Dari keyakinan akan keesaan Tuhan, pada gilirannya melahirkan kedamaian dan ketentraman. Sebaliknya, pelanggaran dan pengingkaran pada Tuhan akan melahirkan kekacauan, ketidakpastian, kegelisahan, dan ketakutan.
      Bukti dalam sejarah kemanusiaan sebagaimana ditunjukkan oleh referensi qur’anik bahwa keingkaran (kekufuran) sebagai lawan kata ketundukan (keislaman) sebagai wujud kedzaliman pernah dialami oleh beberapa pelaku sejarah yang mengakibatkan degradasi dan kejatuhan “status” seperti yang dialami oleh Adam, penderitaan yang mencekam (dalam perut ikan) sebagaimana di alami oleh Yunus, serta “pelecehan” harga diri sebagaimana dialami oleh Yusuf. Meskipun dengan peristiwa tersebut akhirnya mereka menemukan kembali kepatuhan dan kepasrahan mereka, sekaligus menemukan keselarasan, keseimbangan, ketenangan, dan kedamain jiwa. Peristiwa yang dialami oleh para nabi sebagaimana disebut dalam al-Quran, paling tidak memiliki dua maksud. Pertama, peristiwa (kekufuran) tersebut menunjukkan adanya kebebasan diri untuk memilih. Artinya, manusia sebagai hamba Tuhan dilengkapi dengan potensi untuk bebas memilih antara patuh atau ingkar. Kedua, pelajaran tentang transformasi kesadaran. Kesadaran diperoleh melalui pengalaman, yang sekarang mungkin dapat disebut trial and error, tetapi tetap pada pendirian bahwa pengalaman tersebut memiliki tambatan yang kuat, yakni Tuhan.
      Berbeda dengan kekufuran sepanjang masa sebagaimana di alami oleh Fir’aun. Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah kehidupan Fir’aun adalah “nihilis”, yakni dapat disebut sebagai “kekosongan ruhani ketuhanan”, sekalipun dia menyebut dirinya tuhan. Pengingkaran Fir’aun berakhir dibayar dengan social cost yang sangat mahal, yakni keterkungkungan, penindasan, serta penistaan citra kemanusiaan.
Salamat bagi Ibn Araby sebagaimana disinyalir William C. Chittick, bahwa keselamatan dapat dicapai melalui “adaptasi” atau proses penyelarasan dengan qadr (ukuran-ukuran) Tuhan. Qadr Tuhan adalah syari’ah. Jika seseorang menyimpang dari qadr (syari’ah) tersebut, maka pada dasarnya tidak ada keselamatan bagi dirinya.

      Tuhan yang dimaksud Ibn Araby adalah Tuhan sebagaimana yang dikonsepsikan dalam al-Quran, yakni sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur kehidupan. Jika disandingkan dengan pemahaman masyarakat Jawa pra-Islam, (terutama pada jaman primitif), kepercayaan mereka ada kekuatan-kekuatan lain selain dirinya. Kekuatan di luar dirinya dinyatakan sebagai Tuhan, termasuk ruh nenek-moyang, kekuatan magis benda, dan lain sebagainya, yang di dalam Islam adalah sebagai makhluk Tuhan.
      Islam menganjurkan pemeluknya untuk mempercayai hal-hal ghaib (hal-hal yang kasat mata), seperti jin, malaikat, roh, dan makhluk ghaib lain. Makhluk-makhluk ghaib sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an memiliki potensi (kemampuan) tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh jenis makhluk lainnya. Akan tetapi, kepercayaan dan keimanan tersebut menandaskan bahwa potensi (kekuatan) tersebut adalah potensi pemberian Allah, Tuhan semesta alam. Dengan kata lain, tidak ada kekuatan apapun jika tidak diberi oleh Allah.
      Penghargaan sesama makhluk diperbolehkan selagi tidak menjurus pada penuhanan (menjadikan Tuhan). Sesama manusia dianjurkan saling menghargai dan dilarang menyakiti. Demikian juga terhadap makhluk lain, termasuk kepada hewan, bahkan makhluk ghaib lain. Yang sangat dilarang adalah menuhankan bukan Tuhan dan memakhlukkan Tuhan. Dalam al-Quran, Allah adalah nama Tuhan umat Muhammad, selain menuhankan Allah, berarti menuhankan selain Tuhan. Memberi perlakukan khusus seperti perlakuan kepada Tuhan (penyembahan dan pengorbanan) adalah perbuatan syirik, yang disebut sebagai dosa besar.

Kesimpulan:
      Tradisi slametan berakar dari budaya asli Jawa (Animisme dan Dinamisme) dan selanjutnya dihidupkan dan diperkaya oleh budaya Hindu Budha. Masuknya Islam di Jawa menggunakan pola “damai” dengan persuasi sehingga masih terdapat simbol-simbol budaya masa lalu (animisme-dinamisme), Hindu-Budha yang masih menjadi “pola” pikir dan paradigma masyarakat Jawa.
      Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang “lemah” di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Di Jawa Kuno, kekuatan diri adalah kekuatan benda dan ruh nenek moyang yang pada saat Islam datang ditranformasikan pada selamat dari kekuatan Tuhan yang dapat merugikan diri manusia.










Etnografi Kejahatan Indonesia: Relativisme Kultural sebagai Modal dalam Memandang Relativisme Kejahatan.


Jelaskan apa yang menjadi Obyek Kajian Etnografi Kejahatan di Indonesia! Tunjukkan relevansinya dengan Kriminologi dan apa manfaatnya bagi Anda mengkaji masalah tersebut!
Berdasarkan pengertian etimologisnya, kata ‘etnografi’ berasal dari ‘ethnos’ yang berarti suku-bangsa atau masyarakat, dan ‘graphos’ yang berarti tulisan atau kisah. Pengertian etnografi sendiri dapat dijelaskan sebagai sebuah disiplin ilmu yang mencoba untuk memahami fenomena budaya yang mencerminkan pengetahuan dan sistem nilai yang membangun satu kehidupan sebuah kelompok unik tertentu (Geertz, 1973; Philipsen, 1992).).
Berangkat dari pengertian kata ‘etnogrfi’ itu, secara sederhana, etnografi kejahatan merupakan satu disiplin ilmu yang mengkaji tentang fenomena kejahatan di berbagai daerah di Indonesia, yang bentuk-bentuknya dipengaruhi oleh faktor budaya atau tradisi etnis tertentu di daerah-daerah tersebut. Obyek kajiannya ialah perilaku atau tindakan yang membudaya dalam kelompok budaya tertentu yang kemudian dianggap menyimpang oleh kebudayaan dominan, atau tindakan yang seringkali bertentangan dengan tatanan nilai dan norma masyarakat umum di luar kelompok budaya tersebut.
Mempelajari etnografi memiliki relevansi yang signifikan dalam kriminologi. Hal ini disebabkan banyak dari tingkah laku dan perilaku dari kelompok budaya tertentu yang sering dianggap sebagai tingkah laku di luar norma (norma budaya dominan) sehingga disebut sebagai penyimpangan dan kejahatan. Tidak jarang, tingkah laku ini berujung pada penghilangan nyawa atau pengrusakan properti. Tanpa memahami lebih jauh dari tradisi satu kelompok budaya, para kriminolog akan terjebak pada titik ‘kacamata kuda’ dalam mengkaji fenomena kejahatan dan penyimpangan di masyarakat.
Dalam memahami perilaku atau tindakan tersebut, seorang kriminolog budaya, dengan kajian etnografi kejahatannya, berusaha mencoba mempelajari secara mendalam tentang tradisi dan nilai-nilai tertentu yang dipahami oleh kelompok budaya tersebut dan mencoba menemukan jawaban mengapa mereka melakukan perilaku atau tindakan itu. Sebagaimana halnya dengan kerangka kerja disiplin ilmu etnografi itu sendiri, yakni mengumpulkan data empirik pada masyarakat dalam kelompok budaya tertentu, yang bertujuan untuk memberikan gambaran sifat dasar atau watak dari subjek-subjek yang diteliti, melalui penjabaran dalam tulisan (Maynard & Purvis, 1994), etnografi kejahatan juga melakukan hal yang sama untuk menelusuri pola tingkah laku yang membudaya pada kelompok masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk memahami lebih jauh mengapa tindakan itu ada dan tidak dianggap menyimpang oleh kelompoknya, dengan melihatnya dari sudut pandang kelompok tersebut. Pemahaman holistik yang kita miliki terhadap sistem nilai dan tradisi suatu budaya tertentu tersebut akan memberikan manfaat kepada kita, kau akademisi, untuk menemukan cara pencegahan atau pengurangan dan pengendalian sosial kejahatan yang selaras dengan sistem budaya dan etnis atau kelompok budaya tertentu tersebut.
Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang Cultural Ethnocentrism dan Cultural Relativism serta Realtivisme Kejahatan. Gunakan contoh untuk memperjelas jawaban Anda!
Cultural ethnocentrism atau etnosentrisme budaya merupakan satu pandangan yang melihat bahwa kelompok etnis tertentu adalah lebih unggul dibandingkan kelompok etnis lainnya. Subjek yang memiliki paham etnosentris selalu melakukan penilaian atau pertimbangan satu nilai budaya tertentu dengan melihatnya berdasarkan sudut pandang nilai budaya yang dimilikinya sendiri (Omohundro, 2008).
Sementara itu, cultural relativism adalah sebuah konsep atau asas yang dirumuskan oleh seorang antropolog Franz Boas (1858 – 1942) di awal abad ke-20 yang berusaha untuk menciptakan disiplin ilmu budaya yang tidak etnosentris terhadap kelompok budaya yang berbeda-beda. Cultural relativism atau relativisme budaya merupakan satu konsep atau paham yang melihat kepercayaan dan aktivitas individual sebagai sesuatu yang dipahami oleh orang-orang lain dalam sudut pandang kebudayaan individu tersebut. Boas berpendapat bahwa kebudayaan atau peradaban tidak bersifat absolute, melainkan relatif sehingga gagasan dan konsepsi yang kita yakini hanya dapat dikatakan benak jika dilihat dari kebudayaan kita sendiri, dan belum tentu benar jika dilihat dari perspektif kebudayaan orang lain (Boas, 1887: 589).
Relativisme kejahatan merupakan satu konsep yang digunakan dalam kriminologi untuk memahami kejahatan tidak berdasarkan satu sudut pandang. Kemal Dermawan (2005) menjelaskan bahwa dalam mempelajari kejahatan, kita harus memiliki pengetahuan tentang batasan dan kondisi kejahatan di dalam kelompok masyarakat yang bersifat relatif. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti misalnya ketertinggalah hukum karena perubahan nilai sosial atau perkembangan perilaku masyarakat. Perbedaan cara dan pendekatan juga menjadi pertimbangan, apakah secara legal (hukum) atau secara moral (Kemal Dermawan, 2005).
Hal ini bisa kita lihat pada contoh fenomena Siri’ sebagai perilaku yang membudaya di kelompok masyarakat Bugis. Bagi masyarakat umum, perilaku yang terlihat pada aksi siri’ yang dapat berujung pada tindakan kekerasan seringkali dianggap salah dan menyimpang, bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM). Namun demikian, hal itu dianggap wajar oleh masyarakat Bugis sendiri, karena ada ajaran keyakinan di dalam tradisi mereka untuk mempertahankan harga diri. Perbedaan tatanan nilai dalam kelompok budaya ini harus menjadi satu pertimbangan yang menjadi perhatiak studi etnografi kejahatan yang melihat bahwa kejahatan tersebut bersifar relatif.
Contoh lainnya ialah tentang hak kepemilikan. Dahulu, hak kepemilikan diatur oleh ketentuan dan peraturan legal (Undang-Undang) setiap negara, bahwa menggunakan nilai barang atau karya yang memiliki nilai hak kepemilikan tanpa ijin pemiliknya dianggap sebagai pelanggaran. Namun demikian, hal tersebut menjadi bias pada jaman sekarang dengan berkembangnya teknologi internet. Terutama di Indonesia, rumusan hukum kita belum memiliki ketentuan yang detail tentang hal ini, disebabkan oleh perkembangan teknologi canggih itu yang melebihi kecepatan perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang Conflict of Conduct Norm. Gunakan contoh untuk memperjelas jawaban Anda!
Conduct norm merupakan sebuah konsep yang menjelaskan bahwa sebuah kelompok tertentu yang membangun sebuah budaya atau perilaku dan tingkah laku unik dalam memberi tanggapan terhadap tegangan sosial (Sellin, 1938). Kelompok budaya ini mempertahankan atau memelihara sebuah perilaku norma yang berlaku dalam kelompok mereka yang mengatur kondisi kehidupan sehari-hari mereka di dalam lingkungan kelompok tersebut (Siegel, 2010).
Berbeda dengan hukum pidana yang berisikan ketentuan norma kejahatan yang mencerminkan nilai-nilai kelompok yang dominan yang mengontrol perilaku melalui proses legislatif, conduct norm lebih mencerminkan nilai sosial budaya yang lain, yang melekat pada kelompok tertentu, dan biasanya bertentangan dengan norma-norma dominan yang mengatur. Oleh karena itu, conflict of conduct norm atau konflik perilaku norma itu muncul sebagai hasil dari proses diferensiasi kelompok dalam sistem budaya. Sellin menjelaskan bahwa jika satu norma hukum dari satu kelompok merasuk atau menyebar ke dalam daerah yang sebelumnya tidak menyadari atau mengenal norma hukum tersebut, hal itu akan menimbulkan kebingungan dan pelanggaran norma-norma oleh individu atau masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Contohnya, seperti yang dijelaskan oleh Jana Arsovska and Philippe Verduyn (2007: 226-246), tatanan kehidupan modern yang tumbuh di wilayah Barat melihat bahwa tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun dianggap sebagai tingkah laku yang immoral. Dalam konsepsi modernitas, sistem peradilan pidana memiliki otoritas untuk mengadili penjahat sehingga, secara terbuka dan diyakini oleh umum, masyarakat mengakui dan mengamini keinginan untuk menghukum berat seseorang yang telah melakukan tindakan yang diluar norma hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal yang bertentangan terjadi pada masyarakat Albania, yang memiliki tradisi adat tertentu, yakni Kanun of Lek Dukagjini, yang memiliki pemahaman bahwa adanya kesediaan untuk menggunakan kekerasan dan pemutusan keadilan ke diri sendiri, yang oleh hukum dianggap sebagai penyimpangan (Arsovska & Verduyn, 2008: 228).
Contoh lainnya adalah adat yang membudaya di wilayah tertentu di Papua. Bagi masyarakat di sana, terdapat satu tradisi bahwa seorang laki-laki akan memperkosa perempuan yang menarik hatinya sebanyak beberapa kali sebagai tanda untuk melamar. Dalam sudup pandang hukum pidana di Indonesia, perilaku tersebut dianggap menyimpang. Persebaran ketentuan hukum pidana Indonesia di wilayah yang telah memiliki adat istiadat yang mengakar ini terkadang memunculkan satu kebingungan dan berujung pada konflik norma perilaku tersebut.
Jelaskan fenomena Conflict of Conduct Norm dalam kasus Carok (Madura) dan kasus Seks Bebas di Gunung Kemukus!
Pada kasus Carok (Madura), ada dua aspek yang dapat dilihat terkait dengan konflik perilaku normanya (conflict of conduct norm). Pertama, konflik terhadap hukum pidana. Kedua, konflik terhadap norma masyarakat setempat (Dayak).
Misalnya saja, dalah Pasal 338 KUHP, yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan,dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Hal ini menegaskan bahwa tindakan menghilangkan nyawa seseorang merupakan satu tindakan yang melanggar norma hukum. Namun, bagi masyarakat Madura, Carok merupakan satu identitas  khas yang tidak dapat terlepaskan dalam kehidupan bertradisinya. Bagi mereka, carok adalah sebuah pembelaan harga diri yang direndahkan oleh orang lain. Carok menjadi penting untuk menjunjung tinggi kehormatannya mereka sebagai manusia. Hal ini sejalan dengan filosofi mereka, etambang pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi motivasi Carok. (Mien, 2007). Penuntasan sebuah masalah dengan cara Carok dilakukan untuk mendapatkan rasa lega, puas dan kembalinya rasa kebanggaan (A. Latief, 2002).
Tradisi Carok ini sudah ada sejak dahulu, sebelum hukum pidana resmi digunakan sebagai hukum positif di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka yang kemudian mengadopsi hukum warisan Belanda menjadi Hukum Pidana, dan ketika jaman Orde Baru memberlakukan transmigrasi, fenomena Carok berubah menjadi satu penyimpangan karena berbenturan dengan hukum nasional yang berlaku.
Kedua, tradisi Carok mengalami konflik bagi masyarakat Dayak sendiri, yang juga memiliki adat yang berbeda. Norma masyarakat setempat tidak selaras dengan norma yang dibawa oleh masyarakat Madura. Kaum Dayak memahami tanah kelahiran sebagau tanah ulayat (tanah leluhur) yang tidak boleh dieksploitasi, sedangkan masyarakat Madura percaya bahwa di mana bumi dipijak, di sana lah sumber daya bisa dimanfaatkan. Kesuksesan masyarakat Madura dalam ranah lapangan pekerjaan memunculkan kecemburuan sosial sehingga berhujung konflik dan terjadinya tindakak kekerasan (perang antar suku bangsa).
Sementara itu, pada kasus Seks Bebas di Gunung Kemukus, hal ini juga bertentangan dengan norma agama Islam yang mayoritas dianut oleh masyarakat setempat. Dalam hukum Islam, seks bebas dianggap sebagai tindakan zinah yang berdosa. Namun, jika kita lihat lagi, masyarakat setempat juga memiliki keyakinan bahwa untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan ketika berziaran ke makam Pangeran Samudro di Gunung itu, mereka harus melakukan semacam ritual berupa seks bebas. Pada perkembangannya, hal ini berubah menjadi tindakan penyimpang yang sering disalahgunakan oleh perempuan masyarakat untuk mencari keuntungan. Oleh karenanya, bisnis prostitusi tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini, norma agama (hukum Islam) merupakan hukum yang dominan, sedangkan pemahaman masyarakat setempat merupakan norma unik yang dianut oleh kelompok tertentu.