Merawat Akal Sehat di
Tahun Politik
Oleh: Bambang Ismoyo
Pesta
demokrasi Indonesia sudah di depan mata, tak heran aroma persaingan dalam
memperebutkan tahta kepemimpinan negara sangat terasa. Mau tidak mau, diam atau
bergerak, agenda politik ini akan menyertai kita dengan tidak mempedulikan
ruang dan waktu. Di warung kopi, di kampus, di jalanan, bahkan di meja makan
keluarga, bahasan politik acapkali kita diskusikan. Media massa juga tidak
pernah absen dalam menginformasikan dinamika politik yang ada. Lalu, di
linimasa media sosial juga sering kali menyajikan pembahasan mengenai agenda
politik, yang merujuk pada sebuah perdebatan. Berbagai argumen akan digoreng
renyah, baik untuk membela calon yang didukung maupun menguliti calon lain.
Terdapat sebuah kutipan menarik dari mantan presiden Indonesia ketiga,
Abdurrahman Wahid. Beliau berpendapat: “Kontroversi
adalah esensi dari demokrasi, kalau anda melarang kontroversi, anda calon
diktator, bukan pancasilais.” Pendapat ini kurang lebih memiliki makna
bahwa perdebatan dan perbedaan sudut pandang merupakan sebuah produk dari iklim
demokrasi. Namun, pendapat Gusdur tersebut jika dibenturkan dengan realitas
saat ini maka akan melahirkan beberapa pertanyaan maupun asumsi. Apakah
perdebatan tersebut melahirkan gagasan yang konstruktif?
Berbicara
mengenai persaingan politik tentu kita tidak akan bisa melepaskan keberadaan
media. Kita dapat menengok ke belakang bagaimana media memiliki pengaruh yang
sangat signifikan. Barrack Obama disamping prestasinya yang mentereng, ia
memperluas kerjasama dengan facebook. Hasilnya, ia memiliki jumlah penggemar
terbanyak dibanding laman penggemar manapun. Berkaca pada tahun 2004, Susilo
Bambang Yudhoyono yang tidak diperhitungkan sebagai Presiden justru dapat
menang. Mengapa? SBY (bersama tim kampanyenya) dapat mengolah komunikasi di
media dengan baik. Tak hanya itu, ia bahkan benyanyi pada beberapa acara
publik, mengeluarkan tiga kumpulan lagu (yang ketiga saat menjabat sebagai
presiden), dan menghadiri final acara Indonesian Idol. Dibanding dengan
Megawati, yang kerap kali menghindari wartawan maupun hanya berbicara sedikit
di hadapan media. Pemilihan presiden terakhir rasanya publik sudah bisa menilai
bagaimana media massa saling berkompetisi untuk membentuk opini sesuai
pemiliknya.
Pemetaan
media di Indonesia bisa kita tinjau dari sisi kepemilikan media massa. Film
dokumenter Dibalik Frekuensi sedikitnya dapat menjawab bagaimana media yang sekian banyak
hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. CNN, Trans TV, Trans 7, Transvision, dan
detik.com dimiliki oleh Chairil Tanjung (Trans Corp). Global TV, MNC TV, RCTI,
Koran Sindo, okezone.com, sindonews.com, Global Radio, MNC 104.6 FM, dan vision
dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo (MNC Group). SCTV, Indosiar, O Channel,
liputan6.com, Nexmedia, dan Elshinta dimiliki oleh Eddy Sariatmadja (EMTEK
Group). TV One, ANTV, dan vivanews.com dimiliki oleh Aburizal Bakrie. Selain
itu masih ada Media Group milik Surya Paloh, Kompas Group dan masih banyak lagi
konglomerasi media yang tidak cukup dimuat dalam tulisan ini.
Kita dapat
berasumsi bahwa kebebasan mendapatkan informasi ternyata justru dibatasi dengan
kepemilikan media yang hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Belum lagi,
jika media melakukan sebuah framing dalam menyajikan berita. Misal: Di Jakarta
terjadi banjir. Grup Media A akan menyampaikan di TV, situs berita, radio dan
koran bahwa di Jakarta terjadi banjir akibat luapan sungai. Lalu, Grup Media B
menyampaikan bahwa terjadi banjir di Jakarta akibat kegagalan pemerintahan
Gubernur X. Maka, perlu nalar yang jernih dalam memisahkan berita secara utuh
dengan framing yang ada.
Hoax dan Literasi Kita
Disamping fenomena
konglomerasi media, kita dihadapkan sebuah persoalan baru: Hoax. Istilah yang
kian populer beberapa tahun ini merupakan sebuah komoditas baru untuk
melancarkan kepentingan, entah bagi elit politik maupun kelompok tertentu. Misalnya
pemberitaan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (yang sebenarnya secara hukum
sudah dilarang baik keberadaannya sebagai institusi maupun penyebaran komunisme
sebagai ideologi) dan ancaman kriminalisasi ulama yang hiperbola oleh Muslim Cyber Army merupakan agenda
politik guna mengikis elektabilitas pemerintah saat ini. Jika tidak memiliki
usaha dalam memverifikasi berita, kita akan mudah terbawa dalam penyampaian
informasi yang sesat. Apalagi, survei UNESCO tahun 2012 yang menunjukkan bahwa
minat baca di Indonesia hanya menyentuh angka 0,01%. Itu berarti dari 1000
orang Indonesia, maka hanya satu orang yang memiliki minat membaca. Maka, meningkatkan
budaya literasi merupakan urgensi bagi kita sebagai upaya verifikatif menangkal
hoax.
2018, Arena Merawat Akal Sehat
Setelah meninjau iklim di media
massa maupun media sosial yang sangat dinamis dan penuh perdebatan, lalu apakah
terdapat diskursus/ide yang memuat harapan negara ini dalam periode
selanjutnya? Sejauh ini, harus diakui apa yang kita simak hanya sebatas
elektabilitas saja. Petahana Joko Widodo kerap diisukan menggaet beberapa calon
yang memiliki elektabilitas tinggi. Beberapa partai politik juga menawarkan
pada Jokowi calon yang mengedepankan identitas saja. Misalnya, pengajuan calon
wakil presiden Jokowi direkomendasikan berasal dari kalangan islamis. Hal ini
diharap agar dapat menampung banyak suara dari golongan mayoritas. Hal yang
dikedepankan sekali lagi hanyalah elektabilitas. Belum ada diskursus yang
dibicarakan secara massif, misalnya mengenai reforma agraria, penyelesaian
kasus pelanggaran HAM, ketahanan pangan dan lain-lain. Di lain tempat, oposisi
yang mencari elektabilitas juga tidak bekerja secara elegan. Isu SARA menjadi
senjata yang dikedepankan dalam menggerus elektabilitas petahana. Di akhir
tulisan ini, saya mencoba menjawab pertanyaan yang terdapat di paragraf
pertama. Kita dituntut kritis dalam menanggapi perdebatan yang berkamuflase di
media sosial. Hendaknya, kita dapat mengedepankan perbincangan yang konstruktif
dan tidak tenggelam dalam perbincangan yang hanya memuat isu-isu populis,
politik identitas, serta isu SARA yang tidak memiliki dampak positif.
Kepustakaan
Heryanto,
Ariel. 2018. Identitas dan Kenikmatan.
Jakarta: Penerbit KPG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar