Selasa, 26 Juni 2018

MAJALAH MEDIASI EDISI JUNI #1


Mungkinkah Nanti Sekolah Hanya Sebuah Mitos?


Mungkinkah Nanti Sekolah Hanya Sebuah Mitos?

            Dewasa ini, sekolah berkembang menjadi lebih modern, didukung oleh teknologi yang semakin modern pula. Perkembangan yang semakin maju menuntut pemikiran siswa yang semakin kritis, aktif dan kreatif serta inovatif. “Teknologi dapat memudahkan guru dalam mencari sumber-sumber pembelajaran, siswa juga dapat lebih mudah dalam mengakses berbagai sumber pengetahuan” ucap Bu Nur (9/05/18) . Penggunaan internet sudah banyak digunakan bahkan hampir seluruh sekolah di Indonesia pasti pernah merasakan dampak dari globalisasi berupa teknologi dan internet. Didukung oleh sistem kurikulum 2013 (K13), sekolah dituntut untuk menggunakan teknologi dan internet dalam proses pembelajarannya. Hal ini menyebabkan tidak hanya siswa yang bisa dan aktif dalam penggunaan teknologi khususnya internet untuk mencari sebuah pengetahuan namun, guru sebagai pendidik dan pengajar juga diwajibkan untuk dapat menguasai penggunaan teknologi bahkan menerapkannya dalam proses belajar dan mengajar di sekolah. Penerapan teknologi oleh guru dalam proses KMB (Kegiatan Belajar Mengajar) dapat berupa pemberian tugas dan pengajaran menggunakan media digital seperti proyektor.
            Ibu Nur mengatakan bahwa dalam pemberian tugas dan proses pembelajaran yang ia lakukan di MAN 1 Yogyakarta sudah menggunakan teknologi dan internet dalam pembelajarannya seperti memberikan tugas kepada siswa agar mencari sebuah gambar melalui inetrnet lalu di buat power point, selanjutnya siswa dapat menjelaskan apa yang mereka tahu tentang gambar tersebut di depan kelas. Hal ini dapat membuat pengetahuan siswa lebih luas dan kritis serta kreatif sesuai apa yang ada di pikiran mereka lalu melatih keberanian siswa dalam menyampaikan pemikirannya di depan umum. Karakter siswa dapat dibentuk melalui proses ini.
Meskipun teknologi sudah diterapkan dalam proses pembelajaran namun, akan tetap ada hambatan dalam penggunaan teknologi di sekolah baik dari siswa maupun guru itu sendiri. Tidak semua siswa memiliki teknologi yang lengkap seperti laptop, handphone, ataupun wifi sebagai penunjang pembelajaran yang modern meskipun sekolah telah memberikan fasilitas yang baik namun, siswa akan kesulitan mengakses tugas dari guru apabila menggunakan internet apalagi ada beberapa siswa yang berada di pondok dimana akses untuk penggunaan teknologi sangat terbatas. Sedangkan untuk guru, hambatan yang dihadapi adalah susah untuk mengikuti perkembangan teknologi yang semakin pesat, khusunya guru yang sudah senior.
            Dengan adanya teknologi yang semakin maju guru dapat memberi tugas melalui internet bahkan pengajaran pun dapat dilakukan melalui internet tanpa harus bertemu langsung dengan siswa. Namun, hal ini ditakutkan dapat membuat sekolah hanya sebuah formalitas atau lembaga mitos ke depannya. Menurut KBBI, mitos merupakan sesuatu yang memiliki arti yang mendalam dan diungkapkan secara gaib atau lebih tepatnya mengada-ada. Menurut narasumber, sekolah tidak boleh menjadi sebuah mitos meskipun teknologi banyak menyebabkan dampak positif dan kemudahan dalam proses KMB bukan berarti teknologi dapat mengendalikan manusia, namun manusia yang harus menguasai teknologi dan mengendalikannya. Pembelajaran dapat di akses melalui internet bahkan internet terkadang lebih tahu dari seorang guru namun, pengajaran akhlak, nilai, dan karakter tak dapat diajarkan hanya melalui media teknologi internet. Melainkan harus ada peran guru secara langsung. Jadi, peran dari sekolah sebagai wadah pendidikan tidak boleh dikatakan hanya sebuah mitos nantinya. “Teknologi mungkin sudah maju,,, namun bukan berarti teknologi dapat mengendalikan pembuatnya (manusia)”. (AL)

Penerapan E-Learning di Perguruan Tinggi


Penerapan E-Learning di Perguruan Tinggi

            Kemajuan teknologi dan informasi yang merajai hampir seluruh sektor semakin menunjukkan pengaruhnya di bidang pendidikan. Salah satu bentuk kemajuan teknologi dan informasi dalam kegiatan pembelajaran baik di sekolah maupun perguruan tinggi adalah electronic learning. Electronic learning atau yang bisa disebut e-learning adalah bentuk sistem pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar dan mengajar, baik melalui website maupun aplikasi-aplikasi pembelajaran. Pemanfaatan e-learning dalam dunia pendidikan merupakan sarana penunjang dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas  pembelajaran di dalam kelas.
         Universitas Negeri Yogyakarta sendiri telah menerapkan e-learning yang dapat kita lihat dengan adanya be-smart. Be-smart merupakan suatu media pembelajaran yang disediakan untuk proses belajar mengajar interaktif melalui internet yang ditujukan untuk dosen dan mahasiswa UNY. Pada Jurusan Pendidikan Sosiologi, e-learning sudah diterapkan oleh beberapa dosen baik dalam hal penyampaian materi maupun pemberian tugas. Salah satu aplikasi yang digunakan dalam kegiatan pembelajarannya adalah Google Classroom. Google Classroom merupakan suatu ruang pembelajaran yang diperuntukkan bagi setiap lingkup pendidikan, yang dimaksudkan untuk memudahkan kegiatan pembelajaran tanpa interaksi tatap muka. Dengan ini, mahasiswa dimudahkan dalam mengirim tugas dan mendapatkan materi pembelajaran yang diberikan oleh dosen.
          “Hadirnya e-learning dalam dunia pendidikan menjadi sebuah terobosan baru yang bukan untuk menghapuskan pembelajaran konvensional atau tatap muka, namun untuk menguatkan dan melengkapi pembelajaran konvensional itu sendiri,” kata Denanda, mahasiswa aktif Pendidikan Sosiologi 2015. “Karena kalau semua kegiatan pembelajaran adalah  e-learning, hal tersebut justru memicu pudarnya interaksi antara mahasiswa dengan dosen itu sendiri,” tambahnya.
              E-learning sangat membantu dosen dan mahasiswa dengan memberikan banyak kemudahan, efektivitas, dan juga efisiensi dalam kegiatan belajar mengajar. Namun dalam prosesnya, penggunaan sistem pengajaran berbasis digital ini memiliki beberapa tantangan yang masih harus ditangani khususnya dalam dunia pendidikan. Tantangan hadir dari penggunanya sendiri, yaitu dosen dan mahasiswa. Mahasiswa terkadang masih merasa kesulitan dalam penggunaan teknologi yang berkembang dan berinovasi secara terus menerus. Sementara itu untuk dosen selaku pendidik, tantangannya adalah masih banyaknya dosen yang belum sepenuhnya menguasai teknologi. Hal ini tentu berdampak pada penggunaan e-learning yang belum dapat dikatakan sempurna.
       Hadirnya electronic learning di perguruan tinggi selain memiliki banyak kelebihan, juga memiliki kekurangan. Sebagai contoh, dengan kegiatan pembelajaran tanpa tatap muka dan interaksi langsung, e-learning dipandang menggugurkan peran dosen yang justru tergantikan dengan kecanggihan teknologi. Selain itu, melalui e-learning pendidikan karakter juga menurun. Hal ini disebabkan karena e-learning lebih fokus pada  pengontrolan mahasiswa dalam akademiknya saja. Nilai-nilai karakter dan moral seperti sopan santun, kedisiplinan, dan keaktifan kurang mendapat perhatian. Untuk mengatasi dampak negatif penggunaan e-learning, pengguna harus lebih bijaksana dalam menggunakan teknologi.
          Denanda mengatakan, “Pembelajaran di perguruan tinggi lebih baik kepada kombinasi antara e-learning dengan konvensional. Kalau konvensional semua itu seperti menunjukkan kalau  kita tidak mengikuti perkembangan teknologi yang ada." “Kalau konvensional kan tatap muka setiap hari, mengerjakan tugas di cetak kemudian dikumpulkan yang terkadang memakan waktu dan biaya banyak. Tapi kalau dikombinasikan dengan e-learning yang pengiriman tugasnya dikirim melalui internet, tentu dapat menghemat kertas juga. Misal semua konvensional kita hanya terpaku dengan sistem pembelajaran yang tradisional,” lanjutnya. (LNK)

Menelisik Dunia Pendidikan Melalui Museum Dewantara Kirti Griya


Menelisik Dunia Pendidikan Melalui Museum Dewantara Kirti Griya


             YOGYAKARTA—Museum Dewantara Kirti Griya (MDKG) merupakan rumah  peninggalan sejarah Ki Hadjar Dewantara.  Museum berbentuk memorial sebagai bentuk berjalannya sejarah. Nama Museum ini berasal dari “Dewantara” diambil dari bagian nama yakni nama Ki Hadjar Dewantara, Kirti yang berarti kerja atau hasil kerja , dan Griya berarti rumah.
“Museum ini berbentuk memorial sebagai bentuk berjalannya sejarah, dan rumah hasil kerja Ki Hadjar Dewantara” kata Dhrajat Iskandar selaku edukator museum.
      Museum yang terletak di kompleks perguruan Tamansiswa,  Jalan Tamansiswa No 31 Yogyakarta, sebagai media yang menceritakan kehidupan Ki Hadjar Dewantara melalui foto dan barang-barang yang ada di dalam museum. Berbagai perlengkapan kerja, koleksi buku, kursi, meja, mesin ketik, salah satu instrumen gamelan dan properti lain yang masih tertata rapi di dalam museum. “Di dalam museum ini selain terdapat peninggalan tangible juga terdapat peninggalan intangible, misalnya ya pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara”  kata Dhrajat.  
          Museum yang diresmikan sejak tahun 1970 ini tidak dapat dilepaskan dari tokoh Ki Hadjar Dewantara. Membicarakan Ki Hadjar Dewantara berarti memahami tentang berbagai hal, termasuk pemikiran-pemikiran beliau khususnya di dunia pendidikan. Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara sampai saat ini masih digunakan di Tamansiswa, di mana sistem pendidikannya mengedepankan kebudayaan lokal. Kesenian adalah ujung tombak pendidikan sesuai dengan candra sengkala peresmian pendopo agung tamansiswa yang berbunyi “Amboeko Raras Angesti Widji” yang sekaligus menjadi ciri khas sekolah Tamansiswa, di mana melalui seni bukan menjadikan anak sebagai seniman, namun lebih kepada mengolah jiwa keindahan pada diri melalui konsep budaya wirasa, wirama serta wiraga.
        “Dengan wiraga misal latihan 'nembang dan nari' secara tidak langsung anak melakukan kegiatan motorik. Dengan wirama anak akan mengatur temponya, secara tidak langsung akan belajar mengontrol diri. Dan dengan wirasa anak belajar tentang kepekaan terhadap temannya” ujar Dhrajat.
Di sekolah Taman Siswa kebudayaan bukan lagi masuk dalam ekstrakurikuler, namun tergabung dalam intrakurikuler. Selain sistem pendidikan yang masih diterapkan, terdapat juga berbagai pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang terkenal. “Terdapat fatwa Ki Hadjar Dewantara yang sampai saat ini masih di gunakan, misalnya Tut Wuri Handayani” jelas Dhrajat.
         Tut Wuri Handayani sebagai salah satu semboyan dalam dunia pendidikan yang  paling terkenal. Semboyan yang berartikan ‘mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh serta menguatkan’ tersebut, ,sampai saat ini masih relevan diterapkan bagi seorang pendidik. Hal ini dapat dilihat dari sudut pendidik di mana sebagai pendidik harus mampu mengikuti dan mengawasi peserta didik . Di era saat ini sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara masih digunakan dalam dunia pendidkan, salah satunya sistem among. Sistem yang menyokong kodrat alam anak, pendidikan bukan semata mata hanya berorientasi mencari kepandaian, namun berpusat terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sistem Among ini mendidik jiwa merdeka sesuai kodrat alami kemampuan anak. Di era saat ini pendidikan tidak lagi berorientasi kepada guru, namun menuntut anak untuk lebih mandiri dalam arti bisa bereksplorasi terhadap kemampuan yang dimiliki anak.  Dalam sistem among ini peran guru sebagai pendidik yakni mengawasi dan membimbing peserta didik.
           “Di era millenial ini, tuntutan untuk peserta didik agar lebih mandiri tentu sesuai dengan sistem among, yaitu  berlatih untuk mandiri, berusaha terlebih dahulu kemudian jika tidak bisa baru di bantu” ujar Dhrajat. Berbicara tentang sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan pendidikan di era millenial. Sampai saat ini pemikiran Ki Hadjar di bidang pendidikan masih relevan. Misalnya konsep Tri Kon selain sebagai pengembangan budaya,  konsep ini juga sebagai pedoman untuk tantangan pendidikan di era millenial. Tri Kon; Kontinue yakni pengembangan kebudayaan yang dilakukan secara berkelanjutan, Konvergensi yaitu memadukan kebudayaan bangsa sendiri dengan kebudayaan asing (menyerap dengan seleksi atau memfilter) dan Konsentris yakni mengikuti perkembangan zaman namun tidak kehilangan kepribadian kebudayaan masing-masing. “Konsep Tri Kon bisa membendung kebudayaan dari luar yang saat ini semakin pesat dan kadang tidak sesuai dengan kebudayaan kita” tutup  Dhrajat. (NRA)





MENENGOK PENANAMAN MORAL KELUARGA SUKU SAMIN


MENENGOK PENANAMAN MORAL KELUARGA SUKU SAMIN
 Oleh: Ervina Wulandari


Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, sehingga tidak heran jika pemerintah selalu memerhatikan pendidikan untuk warganya. Seperti halnya di Indonesia, berbagai peraturan diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Salah satunya adalah kurikulum yang selalu diperbaharui hingga detail dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Pendidikan di Indonesia kini semakin mengalami perkembangan yang pesat dengan dibarengi berbagai program-program unggulan, salah satunya adalah pendidikan karakter. Hal ini banyak dielu-elukan mengingat maraknya dampak adanya globalisasi yang sebelumnya tidak dibarengi dengan pembekalan mental para peserta didik. Sehingga pendidikan moral dianggap sebagai salah satu upaya untuk mengatasi dampak tersebut.
Namun, pendidikan moral akan sia-sia jika tidak diintegrasikan dengan berbagai pihak yang terlibat dalam kehidupan peserta didik, terutama keluarga. Dalam keluarga, anak akan memperoleh dasar-dasar nilai dan perilaku sebagai bekal ketika dia mulai berinteraksi dengan masyarakat secara luas. Pendidikan dalam keluarga terkait dengan penanaman nilai-nilai budi pekerti dilaksanakan secara menyeluruh pada masyarakat Sedulur Sikep di Dusun Tambak, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Nilai kehidupan tentang Sabar, ngalah, nerimo, rukun, aja srei, dan ora drengki menjadi nilai yang melekat dalam kehidupan mereka. Selain itu, pemikiran yang positif mengenai berbagai hal juga diajarkan oleh orangtua kepada anak-anaknya.
Pola pendidikan yang dianut oleh masyarakat Sedulur Sikep yaitu tetap menyekolahkan anak-anaknya meski pun hanya sampai tingkat Sekolah Dasar namun tidak tamat seperti masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena orangtua lebih memilih mendidik secara langsung anak-anaknya dengan cara dan tangan sendiri. Pola tersebut diberlakukan untuk semua anggota masyarakat. Meskipun demikian, transfer nilai disampaikan secara langsung oleh orangtua dan masyarakat dengan berbagai cara. Misalnya adalah tentang jujur dan tidak dengki yang selalu dinasihatkan oleh anaknya setiap hari, baik pada saat anak melakukan kesalahan maupun saat melakukan pekerjaan rumah. Pembelajaran yang dilakukan oleh orangtua Sedulur Sikep ini bukan hanya sekedar teori namun juga dapat dipraktikkan secara langsung. Sehingga, proses pendidikan moral berhasil dan mampu menghasilkan masyarakat cenderung harmonis dan hampir tidak ditemui penyimpangan.
Pendidikan moral yang ada di masyarakat Sedulur Sikep cukup efektif karena pendidikan diberikan secara langsung dari orangtua kepada anaknya. Hal ini perlu pula menjadi contoh bagi masyarakat modern seperti saat ini dengan tidak melepaskan anaknya pada pendidikan formal tanpa dibarengi sosialisasi dari orang tua terkait dengan pembentukan karakter anak. Perhatian yang lebih dari orang tua pada pendidikan tidak hanya mencarikan lembaga atau sekolah yang bagus kualitasnya, tetapi perlu pula pemahaman bahwa anak tidak dapat lepas dari pendidikan yang diberikan orangtua atau keluarganya.