Minggu, 06 Januari 2019

Lifestyle Keluarga Masa Kini


Oleh: Natalia Yusshinta W. 
Lifestyle merupakan suatu identitas yang dibangun dalam keluarga dimana identitas tersebut menerangkan keberadaan keluarga di sebuah lingkungan masyarakat. Lifestyle yang dewasa ini meluas dimasyarakat, merupakan sesuatu yang bisa dikatakan tidak penting , namun di lain hal kita dapat melihat lifestyle sebagai eksistensi sebuah keluarga yang ditunjukan dengan bergaya. Dalam wawancara yang telah kami lakukan dengan salah satu Dosen Pendidikan Sosiologi, yaitu Bapak Grendi Hendrastomo, M.M,M.A. beliau berpendapat bahwa “Dengan bergaya seseorang ingin menunjukkan siapa dirinya dan tentunya bergaya merupakan sesuatu hal yang tidak memaksa”. “Seperti contoh saya yang tinggal di pedesaan, orang yang tinggal di desa cenderung menganggap bergaya tidaklah penting,tetapi yang terpenting yaitu bagaimana seseorang dapat berinteraksi satu sama lain. Lain halnya orang yang hidup di daerah perumahan, orang yang hidup di sana lebih memandang orang lain dari segi kekayaan,rumah yang dimiliki bahkan kekuasaan,” tambahnya.
Keluarga masa kini sungguh sangat dinamis dan kompleks, tidak sesederhana kehadiran ayah,ibu,dan anak-anak belaka. Keluarga bukanlah benda mati, namun hidup dan memiliki keinginan, kebutuhan, hasrat,dan cita-cita. Dewasa ini dapat kita lihat banyak keluarga yang bisa dikatakan memiliki ekonomi di bawah rata-rata, namun ingin bergaya hidup yang mewah atau yang biasa kita sebut hedon . Hal itu terjadi karena faktor seseorang yang ingin lebih diperhatikan oleh orang lain. Adapun faktor lain yang mempengaruhi seseorang untuk bergaya, yaitu tekanan sosial yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Adanya fakta sosial yang memaksa untuk tidak tampil menjadi dirinya sendiri. Seperti saat seseorang membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, atau melihat seseorang yang memiliki sesuatu kemudian timbulah rasa ingin menyamai. Dari hal tersebut munculah segala cara yang kemudian dilakukan untuk memenuhi keinginan tersebut.
Kondisi seperti yang membedakan gaya hidup yang dahulu dengan yang sekarang. Dahulu orang memiliki gaya hidup yang cenderung lebih kecil dibanding saat ini karena kontekstual tekanan sosial yang adapun tidak terlalu besar. Cara pandang yang dimiliki antargenerasi pun berbeda seperti contoh dahulu orang tua yang memiliki kemampuan secara kapital, maka yang akan mereka miliki bukanlah sesuatu yang dapat dilihat saja namun juga dapat diinvestasi.
Sering juga kita dengar gaya hidup minimalis di mana hal tersebut akan membawa banyak manfaat, seperti penghematan tenaga,waktu,uang,menjadi lebih produktif, dan lain sebagainya. Gaya hidup minimalis berarti menyederhanakan standar hidup, namun di beberapa hal, gaya hidup minimalis terkadang tidak berbanding lurus dengan Price atau harga. Dengan demikian, adanya lifestyle membawa perubahan pada pola pikir keluarga dimana mereka lebih mementingkan pandangan orang lain daripada kebutuhan yang seharusnya mereka penuhi.


Preman Sayang Abang


Oleh: Larasati N. K

Perkenalkan, namaku Muhammad Narendra. Kedua orang tua dan abangku memanggilku dengan nama Naren. Sementara, Teman-temanku biasa memanggilku Mamad. Akan aku tegaskan di sini bahwa tidak ada yang memanggilku dengan panggilan ‘sayang’. Percayalah, tidak ada!
Saat ini aku tengah menduduki bangku kelas 11 di salah satu SMA negeri di Yogyakarta. Aku memiliki empat teman karib yang biasa aku sebut dengan partners in crime. Kenapa aku sebut begitu? Karena kami memang membangun solidaritas kami dengan aksi kriminal. Tidak, aku tidak bercanda. Aku dan empat kawanku memang sering sekali berkelahi dengan siapa saja. Bahkan, aku pernah masuk berita surat kabar loh, saat itu aku sedang di giring oleh beberapa aparat kepolisian karena terlibat tawuran. Ah, bukan suatu yang patut dibanggakan.
Berbicara tentang perkelahian, baru saja lima jam yang lalu aku berkelahi dengan teman satu kelasku. Alasannya, karena dia kelihatan sangat angkuh dan aku tidak suka orang yang sombong. Jika melihat wajahnya, rasanya ingin ku tinju saja. Akhirnya setelah menunggu selama 19 bulan aku berhasil membuatnya babak belur.
Aku memang terlihat nakal dan jagoan. Tapi, kali ini aku akan mengakui bahwa aku adalah seorang pengecut. Saat ini aku berada di depan pintu rumahku, berkali-kali aku mencoba untuk memutar knop pintu, namun tidak berhasil membuka pintu. Kenapa? Karena aku tidak melakukannya. Aku sedang membayangkan wajah nyalang dan marahnya abangku yang sudah menungguku pulang dalam keadaan penuh lebam disertai robek di ujung bibirku.
Setelah berpikir untung rugi apabila aku tetap di luar rumah, aku memutuskan untuk masuk. Aku menelan ludah berkali-kali melirik kesana kemari mencari keberadaan abangku yang ternyata ku temukan sedang duduk menghadap televisi. Aku pun berjalan perlahan, sebisa mungkin agar tidak terdengar olehnya dan cepat masuk kamar. Namun, baik dewi fortuna maupun dewi matahari sekalipun sepertinya tidak berpihak padaku. Bang Saka menyentuh pundakku.
‘Dia akan memarahiku habis-habisan dan akan mengadukannya ke ayah yang sedang berada di luar kota’ batinku.
“Udah pulang, Ren?” tanya Bang Saka tanpa terdengar nada marah sedikitpun. Justru yang terdengar adalah keletihan dari suaranya.
“Sini abang bersihin dulu lukanya.” Bang Saka menarik tanganku untuk duduk di sofa.
Apakah yang berada di depanku benar-benar Bang Saka? Abang yang lebih tua dariku 7 tahun dan berperan menjadi orang tua pengganti ayah dan ibuku di rumah? Ibuku sudah meninggal lima tahun yang lalu, dan ayahku akan pulang tiga bulan sekali karena pekerjaannya yang mengharuskannya berada di luar kota. Aku hanya bersama abangku di rumah, itu juga hanya saat pagi sekali, malam sekali, dan hari libur saja.
Aku mencoba memberanikan diri membuka suara setelah keheningan yang aku dan Bang Saka ciptakan saat ini.
“Abang kenapa nggak marah sama Naren? Kayak kemarin-kemarin.” Ucapku sedikit lirih. Bang Saka pun langsung menatapku dan menghela nafas.
“Abang capek, Ren, harus marah sama kamu terus. Lagian kamu udah gede, udah tau mana yang baik dan yang buruk. Abang nggak mau kamu jadi benci abang. Abang mau jaga titipan ayah dan ibu,” kata Bang Saka. “Jangan begini lagi, Ren. Abang nggak tega lihatnya. Abang merasa nggak becus jaga kamu. Ibu pasti marah sama Abang.” Lanjutnya.

Aku menundukkan kepalaku malu. Mendengar pengakuan Bang Saka seperti itu tanpa sadar cairan bening lolos di ujung pelipis mataku. Dengan kondisi keluarga yang sama, bagaimana mungkin abang kandungku mati-matian berusaha menjagaku, sementara aku menjaga perasaannya saja tidak bisa.
Aku janji, mulai saat ini aku akan perbaiki sikapku dan menjaga abang kandungku satu-satunya, Bang Saka.