Review
Film 3 Srikandi
Oleh: Ni Luh Sriyani
Film
3 Srikandi menceritakan kisah Nurfitriyana, Lilies Handayani, dan Kusuma
Wardhani, atlet pemanah perempuan Indonesia pertama yang memenangkan medali di
ajang Olimpiade. Mereka bertiga meraih medali perak untuk panahan beregu di
Olimpiade Seoul 1988. Ketiga atlet itu diperankan oleh Bunga Citra Lestari,
Chelsea Islan, dan Tara Basro. Usaha produser Raam Punjabi dan sutradara Iman
Brotoseno untuk mengangkat kisah ini menjadi sebuah film layak dipuji. Cerita ketiga
atlet ini memang belum terlalu dikenal dan pantas diketahui oleh khayalak luas.
Tapi sayangnya, mungkin hanya 15% dari film yang menunjukkan aksi tiga wanita
ini memanah di Olimpiade Seoul. Dan 25% lagi menunjukkan persiapan mereka untuk
Olimpiade. Sisa 60% dari film yang lamanya kira-kira 2 jam lebih itu menekankan
masalah-masalah pribadi dalam kehidupan tiga Srikandi dan juga pelatih mereka,
Donald Pandiangan, yang diperankan oleh Reza Rahadian. Masalah yang dialami
ketiga pemeran utama itu berbeda-beda. Nurfitriyana, misalnya, awalnya tidak
didukung oleh ayahnya untuk menjadi atlet. Sang ayah berharap ketimbang menjadi
atlet, Yana (sapaan akrab Nurfitriyana) lebih baik fokus kepada studinya saja.
Kusuma Wardhani, yang akrab dipanggil Suma, juga tidak mendapatkan dukungan
penuh dari orangtuanya. Ayahnya mendorong Suma untuk menjadi PNS supaya hidup
lebih terjamin. Sementara, Suma justru jatuh cinta kepada mantan atlet panahan
Adang Adjiji. Hubungan ini membuat konflik karena Adang dimusuhi oleh pelatih
Donald Pandiangan. Lain ceritanya dengan Lilies Handayani, atlet panahan yang
berasal dari Surabaya. Kedua orangtua Lilies adalah mantan atlet dan mendukung
anak mereka dalam berlatih. Tapi sang ibunda tidak menyetujui pacar pilihan
Lilies, seorang atlet silat. Ibunya ingin Lilies menikah dengan seorang
pengusaha mebel yang kaya supaya masa depannya aman.
Film 3 Srikandi memakan waktu yang
cukup lama untuk membawa penonton ke dalam kehidupan pribadi ketiga karakter
utamanya. Tapi, tidak pernah dijelaskan peraturan-peraturan dalam kompetisi
panahan, teknik apa saja yang dibutuhkan, atau bagaimana menghitung poin untuk
menang. Sutradara Iman Brotoseno mengatakan film ini terdiri dari 70% fakta dan
30% fiksi atau "bumbu". "Film perlu juga bumbu supaya menarik,"
kata Iman.Iman dan produser Raam Punjabi mungkin berpikir film yang hanya fokus
dengan prestasi olahraga ketiga atlet perempuan ini akan terlalu membosankan
untuk penonton. Pendapat mereka tidak sepenuhnya keliru. Tapi, mengingat judul
film ini memakai nama seorang pemanah legendaris, 3 Srikandi justru kurang
menonjolkan olahraga panahan itu sendiri. Film dimulai dengan irama yang cukup
lambat dan terkesan lompat-lompat dari satu Srikandi ke Srikandi lainnya. Baru
setelah sekitar setengah jam, mereka semua bertemu dalam seleksi atlet
Olimpiade di Jakarta. Di sini film baru mulai hidup. Ketiga pemeran wanita
utama memiliki chemistry yang cukup bagus. Pertemanan mereka
tampak authentic dan dapat dipercaya bahwa kerjasama mereka
menghasilkan sebuah medali. Bunga Citra Lestari terutama, sangat baik dalam
memerankan Yana, atlet yang paling senior. Dia memancarkan aura seorang kakak
yang ingin memandu adik-adiknya. Reza Rahadian, sebaliknya, tampil sedikit
monoton sebagai pelatih tim perempuan yang galak. Gerakan andalannya terlihat
menarik yakni rambutnya yang sedikit gondrong ke belakang karena frustasi.
Walau begitu, adegan antara sang pelatih, yang dipanggil Bang Pandi, dan atlet
asuhannya cukup mengundang tawa. Adegan-adegan terakhir 3 Srikandi - menjelang Yana,
Lilies dan Suma meraih medali perak adalah adegan paling memikat dalam seluruh
film. Rakyat Indonesia dari berbagai daerah ditunjukkan menunggu di depan
televisi dengan cemas. Yana menyemangati kedua rekannya dengan kata-kata
inspiratif. Pendukung di Seoul bersorak: "IN-DO-NE-SIA!
IN-DO-NE-SIA!"
Menurut penilaian penulis, film ini
masih memiliki beberapa kekurangan. Tetapi secara keseluruhan, 3 Srikandi tetap
layak ditonton - paling tidak untuk mengenali sosok pemenang medali Olimpiade
pertama untuk Indonesia di cabang olah raga panahan. Film ini juga mampu
membangkitkan rasa nasionalisme publik Indonesia yang pesimistis terhadap
perkembangan dunia olah raga Tanah Air. Sehingga rasanya pas dengan harapan
sang produser, Raam Punjabi yang ingin membangkitkan nasionalisme penonton agar
berbuat sesuatu bagi negara.