Senin, 06 Januari 2020

Review Film: Film 3 Srikandi


Review Film 3 Srikandi
Oleh: Ni Luh Sriyani
Film 3 Srikandi menceritakan kisah Nurfitriyana, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani, atlet pemanah perempuan Indonesia pertama yang memenangkan medali di ajang Olimpiade. Mereka bertiga meraih medali perak untuk panahan beregu di Olimpiade Seoul 1988. Ketiga atlet itu diperankan oleh Bunga Citra Lestari, Chelsea Islan, dan Tara Basro. Usaha produser Raam Punjabi dan sutradara Iman Brotoseno untuk mengangkat kisah ini menjadi sebuah film layak dipuji. Cerita ketiga atlet ini memang belum terlalu dikenal dan pantas diketahui oleh khayalak luas. Tapi sayangnya, mungkin hanya 15% dari film yang menunjukkan aksi tiga wanita ini memanah di Olimpiade Seoul. Dan 25% lagi menunjukkan persiapan mereka untuk Olimpiade. Sisa 60% dari film yang lamanya kira-kira 2 jam lebih itu menekankan masalah-masalah pribadi dalam kehidupan tiga Srikandi dan juga pelatih mereka, Donald Pandiangan, yang diperankan oleh Reza Rahadian. Masalah yang dialami ketiga pemeran utama itu berbeda-beda. Nurfitriyana, misalnya, awalnya tidak didukung oleh ayahnya untuk menjadi atlet. Sang ayah berharap ketimbang menjadi atlet, Yana (sapaan akrab Nurfitriyana) lebih baik fokus kepada studinya saja. Kusuma Wardhani, yang akrab dipanggil Suma, juga tidak mendapatkan dukungan penuh dari orangtuanya. Ayahnya mendorong Suma untuk menjadi PNS supaya hidup lebih terjamin. Sementara, Suma justru jatuh cinta kepada mantan atlet panahan Adang Adjiji. Hubungan ini membuat konflik karena Adang dimusuhi oleh pelatih Donald Pandiangan. Lain ceritanya dengan Lilies Handayani, atlet panahan yang berasal dari Surabaya. Kedua orangtua Lilies adalah mantan atlet dan mendukung anak mereka dalam berlatih. Tapi sang ibunda tidak menyetujui pacar pilihan Lilies, seorang atlet silat. Ibunya ingin Lilies menikah dengan seorang pengusaha mebel yang kaya supaya masa depannya aman.
Film 3 Srikandi memakan waktu yang cukup lama untuk membawa penonton ke dalam kehidupan pribadi ketiga karakter utamanya. Tapi, tidak pernah dijelaskan peraturan-peraturan dalam kompetisi panahan, teknik apa saja yang dibutuhkan, atau bagaimana menghitung poin untuk menang. Sutradara Iman Brotoseno mengatakan film ini terdiri dari 70% fakta dan 30% fiksi atau "bumbu". "Film perlu juga bumbu supaya menarik," kata Iman.Iman dan produser Raam Punjabi mungkin berpikir film yang hanya fokus dengan prestasi olahraga ketiga atlet perempuan ini akan terlalu membosankan untuk penonton. Pendapat mereka tidak sepenuhnya keliru. Tapi, mengingat judul film ini memakai nama seorang pemanah legendaris, 3 Srikandi justru kurang menonjolkan olahraga panahan itu sendiri. Film dimulai dengan irama yang cukup lambat dan terkesan lompat-lompat dari satu Srikandi ke Srikandi lainnya. Baru setelah sekitar setengah jam, mereka semua bertemu dalam seleksi atlet Olimpiade di Jakarta. Di sini film baru mulai hidup. Ketiga pemeran wanita utama memiliki chemistry yang cukup bagus. Pertemanan mereka tampak authentic dan dapat dipercaya bahwa kerjasama mereka menghasilkan sebuah medali. Bunga Citra Lestari terutama, sangat baik dalam memerankan Yana, atlet yang paling senior. Dia memancarkan aura seorang kakak yang ingin memandu adik-adiknya. Reza Rahadian, sebaliknya, tampil sedikit monoton sebagai pelatih tim perempuan yang galak. Gerakan andalannya terlihat menarik yakni rambutnya yang sedikit gondrong ke belakang karena frustasi. Walau begitu, adegan antara sang pelatih, yang dipanggil Bang Pandi, dan atlet asuhannya cukup mengundang tawa. Adegan-adegan terakhir 3 Srikandi - menjelang Yana, Lilies dan Suma meraih medali perak adalah adegan paling memikat dalam seluruh film. Rakyat Indonesia dari berbagai daerah ditunjukkan menunggu di depan televisi dengan cemas. Yana menyemangati kedua rekannya dengan kata-kata inspiratif. Pendukung di Seoul bersorak: "IN-DO-NE-SIA! IN-DO-NE-SIA!"
Menurut penilaian penulis, film ini masih memiliki beberapa kekurangan. Tetapi secara keseluruhan, 3 Srikandi tetap layak ditonton - paling tidak untuk mengenali sosok pemenang medali Olimpiade pertama untuk Indonesia di cabang olah raga panahan. Film ini juga mampu membangkitkan rasa nasionalisme publik Indonesia yang pesimistis terhadap perkembangan dunia olah raga Tanah Air. Sehingga rasanya pas dengan harapan sang produser, Raam Punjabi yang ingin membangkitkan nasionalisme penonton agar berbuat sesuatu bagi negara. 

Fiksi: Puisi


Kesangsian Secangkir Kopi
Oleh Desi Indriyani
Cakrawala  menguning jingga
Menebar  beku di jiwa
Kala langkah kian sesak menyela
Menenggak kopi hanyalah sandiwara


Sangsi merangsang ulu hati 
Kala kopi mengalir menuju usus dua belas jari 
Menyerang kantuk hingga mati 
Pahitnya  terasa menari, diriku enggan tuk lari

Purworejo, 22 November 2019



Mencari... 
Oleh Hesty Nadia Pratiwi
 
Ku mengarungi lautan menuju pulau cerita
Menemukan seorang insan sedang bercengkrama
Dengan penciptaannya yang begitu mesra, sedang
Ku bingung kemana arah mencari
Waktu seakan mengejarku
Ku tak tahu bagaimana lagi
Detik demi detik
Hari demi hari
Seakan ku tak kunjung mencari
Menelusuri bumi yang kelam ini
Ku bingung
Apa arti semua ini
Kemana...kemana ku harus mencari
Lelah...ku tak sanggup menanti
Seakan terarah...
Langkah kaki berjalan tertata rapi
Menyelinap ke kota para pencari ilmu
Untuk memecah suatu misi...
Kembali pulang ke pulau awal mengudara tinggi
Bersama burung besi, nampak jelas gumpalan awan
Takjubku atas semua ini
Kota ini..kotanya para pejuang negeri
Sampailah aku dititik ini..
Perjalanan, perjuanganku masih panjang
Penuh liku dan rintang
Ku harus, harus terus melangkah
Tuk berjuang hingga menang dan
Pulang pun dengan tenang.



Resah
Oleh Daud Ibrahim

Malam biru berkawan bulan setengah.
Binar indah bunga api merah.
Jadi penutup kisah dan awal sebuah resah.

Sekilas bayang memandang hitam.
Di bibir jalanan tempat pejalan kaki berdiri.
Menanti dia yang sudah sendiri.
Sendiri dia yang menanti sudah pergi.

Sepasang mata yang dulu sampaikan dogmanya pada hati.
Kini berbalik dan mulai membuka kembali dialektika soalan lama.

Bisakah kamu melogikakan rasa?
Menjadikan satu antara benci dan cinta?
Atau menempatkan dua cinta dalam satu hati?
Atau jadikan hati sebagai tempat dua benci?

Dialog panjang berjalan sepanjang jalan.
Hati tetap ingin percaya, walaupun mata sudah berbicara.
Yogyakarta, 14 September 2018

Komenk