Jumat, 17 Juli 2020

Komenk



Seputar Dilogi: Budaya Itu Penting, Modern Itu Penting

 Budaya Itu Penting, Modern Itu Perlu
(Bapak Grendi Hendrastomo)
Oleh: Nur Anisa Risqi Ramadhani
Berbicara tentang budaya, menurut Bapak Grendi Hendrastomo budaya saat ini telah mengalami banyak pergeseran makna. Banyak orang berfikir budaya identik dengan hal kuno, terjadi di masa lampau, dan sesuatu yang telah menahun di masyarakat. Melihat budaya yang mulai bergeser makna, pastilah terdapat makna yang telah meluas mengenai budaya hingga menjadi suatu hal yang biasa dilakukan dalam kehidupan (Way of Life). Di hari inilah, kita semua sedang berusaha berproses dengan tujuan menciptakan segala sesuatu, mendistribusikan,, dan mengonsumsi budaya. Contohnya, kaum generasi muda saat ini banyak yang menyukai musik dangdut koplo, bergaya hidup konsumtif, senang berkulineran, dan melakukan segala aktivitas lainnya. Hal tersebut termasuk dalam suatu budaya karena budaya dapat diartikan sebagai suatu hal yang telah menjadi kebiasaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa budaya tidak melulu identik dengan masa pra modern sebab budaya dalam dunia modern pun ada.
Terkait dengan tema “Budaya Itu Penting, Modern Itu Perlu”, Bapak Grendi berfikir masih menunjukkan pada pemikiran bahwa budaya identik dengan hal yang sakral, berhubungan dengan seni maupun tradisi yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Menurut beliau apabila dipandang dalam kajian budaya, pastilah semua budaya dianggap penting bagi semua orang, yang membawa manfaat dan berguna bagi eksistensi dirinya. Walaupun pada dasarnya, budaya dengan modernitas akan senantiasa saling mengisi sehingga modernitas akan menciptakan budaya tersebut.
Dinamika budaya di Indonesia saat ini sangatlah beragam sebab setiap generasi senantiasa menciptakan budaya yang berbeda. Di satu sisi dapat menjadi suatu kekuatan yang luar biasa, namun di sisi lain terdapat bahaya laten, terkhusus apabila orang terlalu fanatik dengan budaya. Perlu dipahami bahwa budaya memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing hingga menjadikan para pengikutnya mempunyai beberapa imajinasi karena hal tersebut. Hari ini, budaya lama dikemas menjadi suatu komoditas dan budaya baru sebagai kreasi yang menentramkan serta menyenangkan bagi individu. Budaya tersebut diciptakan demikian dengan tujuan memberikan nilai tambah bagi kehidupan manusia. Walaupun telah dirancang dan diarahkan pada suatu perubahan, namun kini budaya mulai kehilangan nilai dan esensinya sebab banyak orang yang melakukan sesuatu bukan karena ingin melestarikan budaya, melainkan lebih kepada komersial dan sebagainya. Dihubungkan dengan pandangan Durkheim, ia melihat budaya dari sisi sakral dan profan sama seperti ketika melihat agama. Dari sisi kesakralan banyak budaya lampau yang tidak kehilangan esensinya, tetapi dengan adanya modifikasi budaya justru membentuk daya jual untuk sesuatu yang profan. Dengan demikian, hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor mulai dari kemajuan teknologi, ketidaksinkronan dengan perubahan sosial, adanya daya rasionalitas pada masyarakat, dan munculnya budaya-budaya baru yang melunturkan budaya lama. Kemudian, peran media sosial juga sangat berpengaruh terhadap eksistensi budaya saat ini, ditambah dengan ketidakmauan para generasi baru untuk mempelajari esensi dari budaya itu sendiri. Maka dari itulah, tidak heran apabila budaya mengalami pergeseran karena modernitas.
Mengetahui pergeseran budaya, pada saat ini yang seharusnya bergerak adalah para generasi baru sebagai penerus dan penjaga kelestarian budaya tersebut. Generasi baru haruslah belajar dalam memahami esensi dari suatu budaya dengan menempatkan budaya berdasarkan perspektif budaya itu sendiri, mempelajari dan mencintai keunikannya, serta menjaganya dari pengaruh modernitas. Bapak Grendi juga berpesan kepada generasi baru terkhusus para mahasiswa untuk melestarikan budaya Indonesia dengan cara menikmati dan menjalani apapun yang terjadi sebab pada dasarnya kitalah yang menjadi pencipta dan pengonsumsi dari budaya tersebut. Mempelajari esensi budaya bukan sebagai suatu hal kuno dan sakral, melainkan bagian dari perkembangan masyarakat sehingga budaya hadir di kehidupan saat ini.

Opini: Tradisi Nyadranan Tetap Eksis Di Tengah Kemajuan Teknologi



Tradisi Nyadranan Tetap Eksis Di Tengah Kemajuan Teknologi
Oleh: Navida Nur Hidayah

Salah satu tradisi Jawa-Islam yang melekat pada masyarakat adalah tradisi Nyadranan yang bertujuan untuk menghormati orangtua atau sedulur (saudara) yang telah meninggal. Pada umumnya tradisi ini dilakukan dengan cara ziarah kubur dan mendoakan arwah Kerabat yang sudah meninggal. Nyadranan juga bisa dilakukan dengan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama. Nyadranan merupakan suatu bentuk tradisi layaknya kenduri yang menggunakan perlengkapan seperti sajian dalam bentuk besekan. Nydaranan memiliki makna
khususnya bagi masyarakat setempat sehingga masyarakat yakin dan percaya saat tradisi ini berlangsung makanan seperti kolak, ketam ,apem dan perlengkapan lainya harus ada dan wajib ada.
Nyadranan sendiri berasal dari kata bahasa sansekerta” Sraddha” yang artinya keyakinana, percaya atupun kepercayaan. (Sumber :Wijanarko, Sejarah Singkat Kanjeng Panembahan Bodho) Di dalam konteks jawa kata nyadranan dimaknakan sebagai sraddha yaitu ruwah sya’ban sehingga tradisi nyadranan menjadi keharusan masyarakat pendak untuk menjalankan meskipun hanya setaun sekali. Tradisi sraddha bisa di sebut juga bersih makam. Tradisi ini lebih dikenal masyarakat sebagai tradisi nyadranan.
Tradisi nyadran merupakan sebuah budaya yang dilaksanakan setiap tahun di daerah Pendak, Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakar ta ketika menjelang bulan ramadhan. Awal prosesi nyadranan masih kental dengan tradisi Hindu-Budha. Namun munculnya prosesi islamisasi di Indonesia yang dipelopori oleh wali songo menyebarkan agama Islam di masyarakat nusantara terutama Jawa sehingga kebudyaan dan kepercayaan masyarakat jawa di warnai dengan ajaran islam termasuk tradisi nyadranan. Tradisi nydranan awalnya kegiatan yang bertujuan untuk mengenang Tribhuwana Tungga Dewi, namun sering berjalanya waktu tradisi ini mengalami perubahan dimana dahulu dilaksankan untuk mengenang Tribuwana namun sekarang lebih bersifat gotong royong, silaturahim dan kegiatan bersih-bersih makam serta kenduri dengan doa-doa islami tausyiah.
Untuk melaksanakan tradisi Nyadranan membutuhkan waktu yang sangat lama karena untuk mengadakan tradisi ini membutuhkan desa-desa sekitarnya sehingga perlu pertemuan panitia dan latihan berulang-ulang. Puncak acara tradisi Nyadranan bertepat pada hari senin sebelum puasa setelah tanggal 20. Namun sebelum acara puncak tradisi ini dimulai pada hari minggu. Acara pada hari minggu membaca 30 juz al-Qur’an yang di pimpin oleh seorang Kyai.
Pada hari puncak yaitu hari senin pagi masih diadakan acara talil, doa dan pengajian sehingga puncak dari acara ini pada pukul satu siang dimana diadakan arak jodhang atau bregodo. Acara arak jodhang dimulai dari Blali Desa Wijirejo dan diakhiri di pendopo Panemban Bodho. Dalam acara ini setiap pedukuhan yang ikut berpartisipasi dalam acara arak jodhang dipimpin oleh dukuh masing-masing, Setiap pedukuhan yang mengikuti acara ini terdapat satu pedukuhan diikuti lebih dari 70 orang. Dalam gunukan berisi nasi uduk, beserta bumbubumbu, ikung ayam jawa yang dinamakan jodhang, sedangkan gunungan yang berbentuk kerucut berisi sayuran, buahbuahan, dan makanan tradisional.
Dalam tradisi ini memiliki nilai atau makna tersendiri dimana di dalam gunungan yang berisi sayuran dan buah memiliki aturan dalam menaruhnya. Namun dengan perekembangan zaman yang semakin modern apalagi di era millenial ini masyarakat sekitar mengalami perubahan dimana jarang masyarakat memperhatikan tentang hal itu. Sehingga masyarakat sekitar hanya niat dan memberikan hasil alam berwujud gunungan yang intinya hanya bersedekah sebagi ucapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan banyak rezeki dan memberikan hasil alam.
Tradisi Nyadranan memiliki dampak tersendiri di masa sekarang dimana masyarakat yang terlibat dapat berpartisipasi dan saling gotong royong, menyiapkan acara tersebut mampu meningkatkan kerukunan dan mempererat solidaritas masyarakat di daerah Makam
sewu. Walaupun di era millenial tradisi nyadranan masih eksis di kalangan masyarakat sekitar karena keunikannya. Tradisi ini dapat menarik wisatawan untuk melihat, ataupun mengabadikan setiap rangkaian acara berlangsung sehingga secara tidak langsung masyarakat sekitar dapat memanfaatkan untuk berdagang dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Oleh karena itu kita sebagai warga negara Indonesia terutama generasi muda sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan setiap kebudayaan yang ada di negara ini agar tidak terbawa arus budaya dari luar.

Fenomena: Tiktok Menemani disaat dirumah aja



Tiktok Menemani di saat #dirumahaja
Oleh: Diny Puspita Merinda

Akhir-akhir ini banyak sekali pengguna sosial media yang menyalurkan bakat, salah satunya dance dan kreativitas yang tertuang dalam aplikasi tiktok. Apasih tiktok? Misi TikTok adalah untuk merekam dan menyajikan kreativitas serta momen berharga dari seluruh penjuru dunia melalui ponsel. TikTok memungkinkan setiap orang untuk menjadi kreator dan mendorong pengguna untuk membagikan ekspresi kreatif melalui video berdurasi 15 detik.
Hal yang membuat TikTok menonjol di antara para pesaing lainnya adalah aplikasi hiburan ini memungkinkan semua orang untuk bisa menjadi kreator karena kesederhanaan dan kemudahannya.
Untuk Pamella sendiri alasan bermain tiktok adalah hanya untuk bersenang-senang "karena bosan dirumah dan banyak tugas online, untuk itu saya menghibur diri dengan bermain tiktok karena menurut saya tiktok sangat menghibur dan cukup menarik bagi saya". Tapi kita sebagai pemuda juga jangan terlalu terbawa arus media sosial yang mana akan melunturkan budaya-budaya negara kita sendiri, budaya itu penting modern itu perlu.

Fenomena: Pergeseran Makna Budaya di Tengah Modernisasi

Pergeseran Makna Budaya di Tengah Modernisasi

Oleh: Nuriyah Hanik Fatikhah


Tak dipungkiri eksistensi wayang di tengah anak muda saat ini kalah populer dengan campursari organ tunggal ataupun dangdut. Faktor properti dan biaya yang relatif murah menjadi salah satu penyebab organ tunggal menjadi lebih dipilih masyarakat sebagai seni penghibur dalam suatu acara seperti pernikahan, lahiran, sunatan ataupun acara lain.
Fenomena ini menjadikan wayang mencoba dikembangkan dengan menggabungkan musik dangdut dengan pertunjukan wayang kulit, memainkan musik dangdut dalam beberapa pertunjukan membuat wayang tidak lagi murni menjadi media penutur nilai-nilai kebaikan serta kearifan lokal pada setiap jalan ceritanya namun berubah menjadi media seni yang hanya sebagai hiburan semata. “Wayang sekarang hanya mementingkan keseruan saja tanpa mentaati peraturan yang ada dalam dunia perwayangan dan persindenan. Padahal nilai-nilai yang dikandung dalam wayang sangat tinggi, namun sekarang nila-nilai itu tidak sampai kepada penonton”. ungkap Monica Dewi Indah Sari seorang sinden sekaligus penyanyi dengan genre musik dangdut, pop dan jazz.
Adanya perkembangan zaman serta stigma bahwa dangdut merupakan musik yang merakyat membuat popularitasnya naik ditengah masyarakat baik anak muda maupun orang tua hal ini juga merupakan faktor menurunya eksistensi Wayang. Dangdut sendiri merupakan kebudayaan Indonesia, lahir pada tahun1986 dengan pelaku dangdut yaitu Rhoma Irama.
Sebelum menjadi eksis lagi, musik dangdut mendapat stigma sebagai musik kampungan dan musik orang-orang kelas bawah, namun pada akhir dekade ini musik dangdut ramai dan digemari kembali dan tentu saja dengan pengemasan yang berbeda.
Baik wayang atau Dangdut keduanya merupakan budaya bangsa Indonesia walaupun keduanya lahir pada zaman yang berbeda. Kebudayaan harus tetap dijaga dan dilestarikan atau bahkan dikembangkan selagi tidak merubah tujuan serta nilai-nilai yang seharusnya terkandung di dalamnya.

Sumber:


Fokus: Pergeseran Makna Budaya



Pergeseran Makna Budaya




Nb: Silahkan menscan barcode diatas untuk melihat videonya.