Minggu, 30 Agustus 2020

Fiksi: Cerpen

 

Bone

Oleh: Annisa Rysky Hayati

 

Kilat blizt, jutaan poster, jalinan kertas putih haus tanda tangan, begitulah makanannya sehari-hari. Jeritan-jeritan dibumbui cakaran membuat namanya kian bersinar. Adalah Sinta, gadis berdarah Melayu Sunda 23 tahun penyandang rekor penulis novel islami best-seller lima kali berturut turut sejak debutnya empat tahun lalu.

 

‘’Kak Sinta, bagaimana perasaan Kakak begitu mengetahui bahwa novel kelima ini lagi lagi menjadi best seller dengan penjualan lebih dari lima ribu kopi?”. Tanya awak media saat peluncuran bukunya di sebuat toko buku terkemuka di Ghanesa, Bandung.

 

‘’Alhamdulillah, saya senang sekali dan bersyukur sekali atas semua berkah yang telah Allah berikan. Saya tidak menyangka animo masyarakat terhadap novel saya begitu besar dan tentunya ini menjadi motivasi bagi saya untuk terus mengembangkan tulisan saya’’

 

‘’Lantas Kak, benarkah kabar yang menyebutkan bahwa seluruh royaliti penjualan novel ini akan Kakak sumbangkan’’

 

‘’Insya Allah. Royaliti penjualan novel ini 100% akan saya sumbangkan ke sebuah lembaga pendidikan yang tentunya memiliki andil besar dalam karir menulis saya. Dan Insya Allah setelah peluncuran buku ini selesai, saya akan menuju kesana.’’

 

*****


 

Maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan? Allah menciptakan siang dan malam, atas dan bawah, kecil dan besar, senang dan sedih agar kehidupan menjadi seimbang. Merasakan indahnya pagi tentu saja akan disambut oleh datangnya siang,dan kini harus mencicipi indahnya kanvas malam.

 

Langit runtuh, binarbinar cahaya bintang meledak. Namun tak seperti teori nebula, mereka membentuk kristal tajam, lalu menghambur ke bumi. Sialnya di antara jutaan objek di khatulistiwa, kristal itu mengarah padaku. Menembus batas kelogisan otak, menancap bak busur panah. Tepat di sini, di dasar hatiku.

 

‘’Akulah Lala, si manis yang sangat aktif dan super ceriwis. Aku lupa, aku lupa datangnya tropi, piagam, uang dan nama baik dan sempat famous kala itu, bukankah itu semua karena hasil usahaku? Etalase penuh itu berkat siapa? Medali? Itu hasil keringatku. Akulah sang pemeran utama. Tapi malang!’’

 

‘’Sudahlah La, jangan ditangisi terus. Mana karakter Lala yang super aktif? Ini bukan kamu yang super ceriwis, apa lagi sosok Lala yang super duper kritis. Ayo tersenyumlah.’’ ucap Mamaku sembari terus menenangkanku. Mamaku memang anugerah terbaik yang pernah aku miliki, bak bidadari tak bersayap yang dikirim Tuhan ke dunia ini padaku. Mamaku memang penyayang, bukan hanya kepadaku tetapi kepada sesama. Sebut saja Mamaku Bunda Lisa. Dalam kesehariannya di waktu luang, Mama banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi kepada masyarakat dengan menjadi guru relawan di sebuah tempat yang berada di rimba.

 

‘’Lala, sudahlah nak jangan menangis lagi. Mungkin itu memang belum rezekimu, tapi percayalah Allah telah mempersiapkan yang terbaik untukmu’’ tambahnya memberi semangat.


 

 

‘’Maa, aku kecewa. SNMPTN, SBMPTN gagal semua! Akuu..akuu...huhuhuhuhu’’ tangisku mulai pecah menggelegar di tiap sudut ruangan.

 

‘’Sudahlah sayang’’ Mama memelukku hangat. ‘’Pasti ada jalan menuju kesuksesan. Man jaddawa jadda, barang siapa yang bersungguh sungguh pasti akan berhasil. Jadi kamu harus terus berusaha dan jangan lupa berdo’a, semangat sayang’’.

 

Wan jadda wa jada. Kalimat itu lah yang selalu terngiang di lobus frontalku. Berkat kalimat itulah setiap hari kulahap soal – soal Fisika, Kimia, Matematika dan Bahasa Inggris. Demi satu tujuan, Institut Teknologi Bandung. Tapi lihatlah, bak pungguk merindu rembulan. Sia sia usahaku.

 

‘’Sudahlah jangan cengeng, Mama tidak mendidikmu untuk menjadi perempuan lemah. Harus semangat, jangan putus asa. Cepat bergegas, Mama akan mengajakmu ke suatu tempat. Mama bisa jamin kamu pasti betah.’’ ungkap Mama sok menyakinkan.

 

‘’Kemana?’’

 

‘’Pokoknya rahasia. Mama tunggu di ruang tamu ok.’’ sambil beranjak meninggalkanku di dalam bilik. Oh iyaa, Mama sarankan pakai jilbab sorong saja yang simple’’

 

Jebret! Pintu terbanting.

 

 

*****


 

Suara indah nan syahdu, salah seorang pramugari cantik menyapa, menyadarkan dari koma tidurnya selama perjalanan terbang yang melelahkan, si burung besi telah take-off sekitar empat puluh lima menit yang lalu.

 

‘’Sinta, Di Bandara Sultan Thaha Saifudin nanti kamu akan dijemput iringiringan Gubernur. Di sana kamu akan disuguhi tarian Selamat Datang untuk menyambut kedatangan, dilanjutkan acara seremonial sederhana di rumah Dinas Gubernur. Naskah pidato yang telah ku tulis sudah kamu pelajari?’’ Manager berpipi gembul bak squisy itu lagi lagi membacakan agenda kegiatan.

 

*****

‘’Selamat datang Kakak, Selamat datang Kakak. Selamat datang kami ucapkan. Terimalah salam dari kami yang ingin maju bersama sama. Terimalah salam dari kami yang ingin maju bersamasama,’’ nyanyian dan tepuk tangan menggelora mengiringi sepanjang perjalanan.

 

‘’Selamat siang adik-adik. Hari ini kita kedatangan tamu yang sangat kita rindukan, yee’’ tepuk tangan di berbagai penjuru mengiringi kata-kata Kak Indah seorang guru relawan muda menyapa kedatanganku dan Mama di garis terdepan.

 

‘’Halo anak-anakku semua’’ sapa Mama sok imut dan sok ramah.

 

‘’Hari ini Bunda tidak sendirian, nah di samping Bunda ini ada Kakak cantik yang berjilbab Biru namanya Kak Lala, dia anak Bunda’’ mencoba memperkenalkanku.

 

‘’Halo, Assalamuaikum adik-adik semua’’ aduh aku malah ikutan sok ramah.

Berada dalam luasnya savana Bukit Suban, aku mulai bercengkrama dengan indahnya alam diiringi nyanyian merdu Macaca Nemestrina1 yang sedari tadi menyapaku sembari berdansa ria dari satu pohon ke pohon yang lainnya.

1Beruk yang banyak hidup di hutan Sumatera


 

Taman Nasional Bukit Dua Belas memang indah betul. Desa yang masih perawan ini menawarkan pesona luar biasa. Di sinilah hidup manusia rimba terbesar di Jambi. Suku Anak Dalam atau lebih familiar disebut Suku Kubu. Suku asli pedalaman rimba Jambi yang mulai melek kebudayaan milenium. Bagaikan pulpa yang berusaha meloloskan diri dari kurungan zaman, meskipun masih jauh dari fase kupu kupu, transformasi mereka patut diacung dua jempol.

 

Rumah Pandai inilah menjadi saksi. Berkolasi cukup jauh dari pemukiman penduduk, gubug reot hasil dari pemikiran Bunda Lisa dan rekan relawan lainnya ini menjadi akar dari peradapan Suku Anak Dalam penghuni Bumi Tali Undang Tambang Teliti2 ini.

 

Mama sukses, keren parah! Aku benar-benar suka di sini. Terbayar sudah lelahku. Seolah aku lupa akan carut marut duniaku saat melihat anak-anak itu tertawa. Langit cerah dengan cuaca yang cukup terik, aku tetap menikmati asyiknya bercengkrama denagan alam Bukit Dua Belas. Bermain dengan beberapa bocah berkulit legam, baju bercocol tanah, sembari mengajarkan mereka berbahasa Inggris.

*****

‘’Sesuai permintaan Gubernur Jambi, Malam ini kita singgah di Hotel Novita. Besok pagi setelah ramah tamah di rumah dinas Gubernur kita meluncur ke Bukit Dua Belas’’ manager Sinta tampak kewalahan menyusul jadwal.

 

Sinta mengulum senyum, tampak aura bahagia terlukis di wajahnya. Di matanya telah terlukis dengan indah hamparan savana dan wajah wajah Suku Anak Dalam.

*****

2 Slogan Provinsi Jambi


 

‘’ Me nem is Seka. En I lop inglis’’

 

‘’Yeee.. Seka pintar. Berlatih terus yaa, anak pintar’’ sambil terus

mengelus rambut. Bocah rimba tersebut.

 

‘’Teng kyu, Bunda’’ jawab Seka sembari menyipitkan kedua matanya.

 

‘’Alhamdulillah, siswi cadelku mengunjukkan grafik kemajuannya. Aku senang sekali dengan kemajuan mereka, semoga lelahku menjadi lillah. Setidaknya mereka masih menikmati pendidikan meskipun hanya sebatas sakolah rimba dengan bantuan relawan seperti kami sekalipun’’, kata Bunda Lisa

 

‘’Aamiin, lucu yah mereka Ma’’ tambah Ica berada tepat di belakangnya.

 

‘’Iya lucu sekali’’, jawab Bunda Lisa sambil memandang bocah rimba tersebut tengah belajar asyik di rerumputan, ada yang membaca sambil naik di atas pohon sekalipun.

 

‘’Lantas rencana kamu selanjutnya apa nak?’’, tanya Mama menatapku

tajam.

 

Duarrr! Bak petir di siang bolong. Aku tersadar dari koma. Terakhir kali aku menangis sejadi jadinya meratapi nasib gagal SBMPTN kala itu.

 

‘’Apa mau seperti Mama? Mengabdi pada Negeri dengan membantu saudara saudarimu yang di sini, atau menikah dengan anak Temenggung3 dan berdiam di Bukit Dua Belas?’’, Mama meledekku.

 

3Pimpinan tertinggi Suku Anak Dalam


 

 

‘’Aku? Menikah? Wkwkwkwk’’, tawaku

‘’Loh kok pipinya merah begitu?’’ Mama tak henti meledekku. ‘’Sejujurnya  aku  masih  belum  terpikir  apa  yang  dapat  kulakukan  setelah

semua  usahaku  ternyata  gagal.  Kursi  impian  duduk  di  perguruan  tinggi telah

lenyap. Menyedihkan!’’, senyum kecut dengan bibir membentuk kerucut.

 

 

‘’Sayang, setiap insan wajib menuntut ilmu, bukankah di dalam agama

sudah dijelaskan, iyakan?’’

 

Aku membisu, mengangguk pelan.

 

Ingat, ilmu tidak hanya didapat dari bangku Universitas, kesuksesan juga tidak hanya diraih melalui sayap sarjana. Akan ada banyak sekali jalan lain menuju kesuksesan. Mama tidak meragukan bakatmu, jadi kenapa kamu tidak memanfaatkannya dengan baik?

 

BAKAT. Kata itulah yang setiap hari terpatri di lobus frontalku. Bakat, aku harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Atau, inikah jalanku?

 

*****

 

Anak anak lucu dan imut berkulit legam membentuk barisan pagar menyambut kedatangan Sinta beserta rombongan. Sorak sorai mewarnai kedatangannya, lambaian tangan seolah tiada henti sampai akhirnya sosok baru turun dari mobil mewah.

 

‘’Assalamualaikum adik adik Kakak semua’’ sapa Sinta turun dari mobil. Berjalan sembari menebar senyum manis kepada mereka yang berada di sisi kanan dan kiri.


 

Waalaikumsalam. Selamat datang kembali di Rumah Pandai.”  balas seorang relawan hijaber di pintu utama.

 

Tiba-tiba..

 

‘’Kak    Sinta!’’   jerit    histeris    seorang    bocah    rimba    dengan   binar

menunjukkan wajah bahagia.

 

 

Sinta membalikkan badan. Matanya mulai liar, mencoba memastikan siapa yang memanggilnya. Matanya kembali berakomodasi maksium kali ini dilihatnya dengan jelas sosok tersebut.

 

‘’Seka?”

 

Si empunya tak mau berdiam diri, bergegas lari menuju pelukan hangat Sinta.

Siswi cadel kesayangannya kini telah tumbuh menjadi angsa cantik.

 

Seka menangis sejadi jadinya, sejak kepergian Sinta memang Seka lah yang begitu merasakan kehilangan. Tetapi dia berusaha membuktikan bahwa ini bukanlah sebuah perpisahan, ia berjanji akan belajar lebih giat dan bercita cita menyusulnya ke Bandung.

 

Waktu terus berjalan, sebenarnya aku benci kalimat perpisahan. Terlebih lagi aku harus melihat wajah anak anak polos ini berkaca kaca. Hatiku merasa teriris. Katup hatiku serasa akan jebol.

 

‘’Jaga diri baik baik ya Laa, lekas menyusul Kakak di Bandung. Jangan disia siakan bakatmu!’’, Kak Sinta memelukku erat sembari memberiku sebuah buku cantik buatan tangan. Kami tutup perjumpaan ini dengan saling berpelukan dan berfoto ria dipenghujung waktu.


 

Benar kata Kak Sinta, aku harus memanfaatkan bakatku dengan baik. Jadi kuputuskan mulai hari ini aku lupakan semua angan anganku sejenak tentang indahnya Universitas. Hari ini juga aku mantapkan hatiku untuk mengabdi pada negeri ini, aku bertekad untuk bergabung menjadi guru relawan di sini sembari mengembangkan bakatku dalam menulis. Aku berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi, yang akan membawa kebahagiaan lebih bagi mereka.

 

*****

 

Di balik jendela kelas yang sederhana ini Lala tampak terhenyak matanya tertuju pada satu objek tepat di depan matanya. Jelas, pemuda gagah berseragam loreng itu memiliki karisma tersendiri saat ikut membantu mengajar anak anak di rumah Pandai ini.

 

‘’Hayo, sedang liat apa?’’, Mama mengejutkan.

 

‘’Astagfirullah, nggak liat siapa siapa  Ma” Lala beralih dari jendela, dengan malumalu menempis semua pernyataan dari Mama.

 

‘’Hihi.. Sudahlah mengaku saja’’ Mama tersenyum jahil.

 

‘’Itu Bone, anak termuda Temenggung. Dia anak didik Mama semasa sekolah rimba, dan melanjutkan pendidikan formal ke Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah menengah Atas di daerah penduduk. Kali ini ia pulang kembali ke rimba, lihat balutan kain loreng menyelimuti tubuhnya. Dia anak yang baik dan masih single, tampaknya sedari tadi beliau juga malu malu ingin berkenalan denganmu’’

 

Lala hanya tersenyum senyum seperti orang tidak waras. Meskipun berusaha menyangkal keras perasaan itu, kini di otaknya mulai terbayang pernikahan adat Suku Jawa atau Suku Anak Dalam?.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar