Minggu, 06 Januari 2019

Preman Sayang Abang


Oleh: Larasati N. K

Perkenalkan, namaku Muhammad Narendra. Kedua orang tua dan abangku memanggilku dengan nama Naren. Sementara, Teman-temanku biasa memanggilku Mamad. Akan aku tegaskan di sini bahwa tidak ada yang memanggilku dengan panggilan ‘sayang’. Percayalah, tidak ada!
Saat ini aku tengah menduduki bangku kelas 11 di salah satu SMA negeri di Yogyakarta. Aku memiliki empat teman karib yang biasa aku sebut dengan partners in crime. Kenapa aku sebut begitu? Karena kami memang membangun solidaritas kami dengan aksi kriminal. Tidak, aku tidak bercanda. Aku dan empat kawanku memang sering sekali berkelahi dengan siapa saja. Bahkan, aku pernah masuk berita surat kabar loh, saat itu aku sedang di giring oleh beberapa aparat kepolisian karena terlibat tawuran. Ah, bukan suatu yang patut dibanggakan.
Berbicara tentang perkelahian, baru saja lima jam yang lalu aku berkelahi dengan teman satu kelasku. Alasannya, karena dia kelihatan sangat angkuh dan aku tidak suka orang yang sombong. Jika melihat wajahnya, rasanya ingin ku tinju saja. Akhirnya setelah menunggu selama 19 bulan aku berhasil membuatnya babak belur.
Aku memang terlihat nakal dan jagoan. Tapi, kali ini aku akan mengakui bahwa aku adalah seorang pengecut. Saat ini aku berada di depan pintu rumahku, berkali-kali aku mencoba untuk memutar knop pintu, namun tidak berhasil membuka pintu. Kenapa? Karena aku tidak melakukannya. Aku sedang membayangkan wajah nyalang dan marahnya abangku yang sudah menungguku pulang dalam keadaan penuh lebam disertai robek di ujung bibirku.
Setelah berpikir untung rugi apabila aku tetap di luar rumah, aku memutuskan untuk masuk. Aku menelan ludah berkali-kali melirik kesana kemari mencari keberadaan abangku yang ternyata ku temukan sedang duduk menghadap televisi. Aku pun berjalan perlahan, sebisa mungkin agar tidak terdengar olehnya dan cepat masuk kamar. Namun, baik dewi fortuna maupun dewi matahari sekalipun sepertinya tidak berpihak padaku. Bang Saka menyentuh pundakku.
‘Dia akan memarahiku habis-habisan dan akan mengadukannya ke ayah yang sedang berada di luar kota’ batinku.
“Udah pulang, Ren?” tanya Bang Saka tanpa terdengar nada marah sedikitpun. Justru yang terdengar adalah keletihan dari suaranya.
“Sini abang bersihin dulu lukanya.” Bang Saka menarik tanganku untuk duduk di sofa.
Apakah yang berada di depanku benar-benar Bang Saka? Abang yang lebih tua dariku 7 tahun dan berperan menjadi orang tua pengganti ayah dan ibuku di rumah? Ibuku sudah meninggal lima tahun yang lalu, dan ayahku akan pulang tiga bulan sekali karena pekerjaannya yang mengharuskannya berada di luar kota. Aku hanya bersama abangku di rumah, itu juga hanya saat pagi sekali, malam sekali, dan hari libur saja.
Aku mencoba memberanikan diri membuka suara setelah keheningan yang aku dan Bang Saka ciptakan saat ini.
“Abang kenapa nggak marah sama Naren? Kayak kemarin-kemarin.” Ucapku sedikit lirih. Bang Saka pun langsung menatapku dan menghela nafas.
“Abang capek, Ren, harus marah sama kamu terus. Lagian kamu udah gede, udah tau mana yang baik dan yang buruk. Abang nggak mau kamu jadi benci abang. Abang mau jaga titipan ayah dan ibu,” kata Bang Saka. “Jangan begini lagi, Ren. Abang nggak tega lihatnya. Abang merasa nggak becus jaga kamu. Ibu pasti marah sama Abang.” Lanjutnya.

Aku menundukkan kepalaku malu. Mendengar pengakuan Bang Saka seperti itu tanpa sadar cairan bening lolos di ujung pelipis mataku. Dengan kondisi keluarga yang sama, bagaimana mungkin abang kandungku mati-matian berusaha menjagaku, sementara aku menjaga perasaannya saja tidak bisa.
Aku janji, mulai saat ini aku akan perbaiki sikapku dan menjaga abang kandungku satu-satunya, Bang Saka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar