Perkenalkan, namaku Muhammad Narendra. Kedua orang tua
dan abangku memanggilku dengan nama Naren. Sementara, Teman-temanku biasa
memanggilku Mamad. Akan aku tegaskan di sini bahwa tidak ada yang memanggilku
dengan panggilan ‘sayang’. Percayalah, tidak ada!
Saat ini aku tengah menduduki bangku kelas 11 di salah
satu SMA negeri di Yogyakarta. Aku memiliki empat teman karib yang biasa aku
sebut dengan partners in crime. Kenapa aku sebut begitu? Karena kami
memang membangun solidaritas kami dengan aksi kriminal. Tidak, aku tidak
bercanda. Aku dan empat kawanku memang sering sekali berkelahi dengan siapa
saja. Bahkan, aku pernah masuk berita surat kabar loh, saat itu aku sedang di
giring oleh beberapa aparat kepolisian karena terlibat tawuran. Ah, bukan suatu
yang patut dibanggakan.
Berbicara tentang perkelahian, baru saja lima jam yang
lalu aku berkelahi dengan teman satu kelasku. Alasannya, karena dia kelihatan
sangat angkuh dan aku tidak suka orang yang sombong. Jika melihat wajahnya,
rasanya ingin ku tinju saja. Akhirnya setelah menunggu selama 19 bulan aku
berhasil membuatnya babak belur.
Aku memang terlihat nakal dan jagoan. Tapi, kali ini aku
akan mengakui bahwa aku adalah seorang pengecut. Saat ini aku berada di depan
pintu rumahku, berkali-kali aku mencoba untuk memutar knop pintu, namun tidak
berhasil membuka pintu. Kenapa? Karena aku tidak melakukannya. Aku sedang
membayangkan wajah nyalang dan marahnya abangku yang sudah menungguku pulang
dalam keadaan penuh lebam disertai robek di ujung bibirku.
Setelah berpikir untung rugi apabila aku tetap di luar
rumah, aku memutuskan untuk masuk. Aku menelan ludah berkali-kali melirik
kesana kemari mencari keberadaan abangku yang ternyata ku temukan sedang duduk
menghadap televisi. Aku pun berjalan perlahan, sebisa mungkin agar tidak
terdengar olehnya dan cepat masuk kamar. Namun, baik dewi fortuna maupun dewi
matahari sekalipun sepertinya tidak berpihak padaku. Bang Saka menyentuh
pundakku.
‘Dia akan memarahiku habis-habisan dan akan mengadukannya
ke ayah yang sedang berada di luar kota’ batinku.
“Udah pulang, Ren?” tanya Bang Saka tanpa terdengar nada
marah sedikitpun. Justru yang terdengar adalah keletihan dari suaranya.
“Sini abang bersihin dulu lukanya.” Bang Saka menarik
tanganku untuk duduk di sofa.
Apakah yang berada di depanku benar-benar Bang Saka?
Abang yang lebih tua dariku 7 tahun dan berperan menjadi orang tua pengganti
ayah dan ibuku di rumah? Ibuku sudah meninggal lima tahun yang lalu, dan ayahku
akan pulang tiga bulan sekali karena pekerjaannya yang mengharuskannya berada
di luar kota. Aku hanya bersama abangku di rumah, itu juga hanya saat pagi
sekali, malam sekali, dan hari libur saja.
Aku mencoba memberanikan diri membuka suara setelah
keheningan yang aku dan Bang Saka ciptakan saat ini.
“Abang kenapa nggak marah sama Naren? Kayak
kemarin-kemarin.” Ucapku sedikit lirih. Bang Saka pun langsung menatapku dan
menghela nafas.
“Abang capek, Ren, harus marah sama kamu terus. Lagian
kamu udah gede, udah tau mana yang baik dan yang buruk. Abang nggak mau kamu
jadi benci abang. Abang mau jaga titipan ayah dan ibu,” kata Bang Saka. “Jangan
begini lagi, Ren. Abang nggak tega lihatnya. Abang merasa nggak becus jaga
kamu. Ibu pasti marah sama Abang.” Lanjutnya.
Aku menundukkan kepalaku malu. Mendengar pengakuan Bang
Saka seperti itu tanpa sadar cairan bening lolos di ujung pelipis mataku.
Dengan kondisi keluarga yang sama, bagaimana mungkin abang kandungku
mati-matian berusaha menjagaku, sementara aku menjaga perasaannya saja tidak
bisa.
Aku janji, mulai saat ini aku akan perbaiki sikapku dan
menjaga abang kandungku satu-satunya, Bang Saka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar