Minggu, 21 April 2019

Cerpen : Neraka Dalam Politik


NERAKA DALAM POLITIK
Penulis: Anisa Widia Fasa

Namaku Cinta Kirana, biasa di panggil Cinta. Meskipun namaku Cinta, tetapi aku bukanlah pacarnya Rangga. Tidak! Aku hanya gadis bernama Cinta yang masih setia menunggu cinta yang sesungguhnya. Saat ini aku masih duduk di bangku SMA. Aku termasuk anak yang sangat populer disekolah. Semua orang tidak mungkin tidak ada yang tahu siapa aku. Kenapa aku populer? Hayo, siapa yang bisa menebak? Jika ada yang menjawab karena aku cantik maka jawaban itu sangat salah. Aku terkenal karena aku anak ayahku. Lalu apa spesialnya? Yang spesial adalah ayahku bukanlah orang biasa, melainkan seorang politikus yang tengah menjadi trending topic saat ini.
Ketenaran ayahku, membuatku sedikit terganggu karena aku menjadi pusat perhatian di sekolah. Semua orang memandangku dengan tatapan yang berbeda. Teman sekolahku tidak mau bergaul denganku karena mereka iri padaku yang selalu di sayang guru dengan nama yang disandang  ayahku. Aku sedih dan tidak suka dengan situasi ini. Aku juga ingin berteman dengan mereka, aku juga siswa biasa seperti yang lain. Aku benci ini semua! Sangat benci!
Ayahku adalah seorang Gubernur yang kini tengah mencalonkan diri menjadi wakil presiden. Itulah mengapa ayahku menjadi trending topic saat ini. Semua orang membicarakan ayahku, ada yang mendukung dan ada yang menolak ia menjadi calon wakil presiden. Kalau kalian menanyakan apakah aku setuju ayahku menjadi calon presiden, maka aku menjawab dengan tegas, TIDAK! Mengapa? Karena aku takut dan khawatir ayahku akan melakukan sesuatu yang tidak semestinya.
Hingga pada suatu hari yang kubayangkan pun terjadi. Hari di mana aku tidak ingin hal ini terjadi. Pada hari itu ayahku terbukti melakukan kesalahan besar. Sangat besar, hingga membuat nama keluargaku hancur berkeping-keping. Semua orang mengkritik dan menghujat di sana-sini. Mengapa? Ya, karena ayahku melakukan tindak “KORUPSI”. Ayahku akhirnya melakukan hal yang aku takutkan dan tidak aku inginkan. Ayahku bertindak curang karena tekanan politik yang besar. Biaya kampanye yang tidak murah membuat ayahku akhirnya melakukan itu. Jujur, aku malu. Aku hancur. Aku tidak tau harus berkata dan berbuat apa. Aku dan ayahku menjadi buah bibir di sekolah dan masyarakat. Aku dicibir dan dihina habis-habisan.
“ Huuuu anak koruptor!”
“Ngapain lo masih sekolah disini? Dasar anak koruptor bikin sekolah kita jelek aja, keluar sana!” 
“Oh, ternyata disayang guru karena uang. Uang siapa, tuh? Kasih berapa lo sama guru?”
Dan masih banyak lagi cibiran mereka yang terus menerus membuatku kalut dan sedih. Rasanya aku ingin menyerah saja. Aku tidak kuat menghadapi ini semua. Ayahku yang melakukan itu kenapa aku juga yang terkena imbasnya. Saat itu, aku sangat benci dengan ayahku. Benci dengan kekuasaan. Benci dengan semua yang dilakukan ayahku. Sampai pada titik terakhir, aku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri saja hidupku. Aku tertekan.
Aku lari ke gedung paling tinggi. Yang ada di pikiranku adalah aku ingin menjatuhkan diriku dari sana agar  tidak lagi mendengar cibiran dari orang-orang. Namun, saat aku mulai melangkahkan kakiku ke bibir gedung seorang lelaki datang dan mencegahku, ”Hey, stop! Mau apa kamu? Jangan loncat!” 
“Jangan mendekat! Untuk apa kamu kemari? Biarkan aku melakukan ini. Aku sudah tidak tahan dengan semua ini,” seruku berteriak.
“Apakah dengan kamu pergi dengan cara seperti maka semua masalahmu akan selesai? Tidak. Kamu akan menyesal. Percayalah, iini bukan akhir dari segalanya dan semua pasti ada jalan keluarnya,” serunya tak kalah keras dan memohon.
Terus-menerus pria itu membujukku untuk tidak melakukan itu sampai aku tersentak pada satu kalimat yang ia ucapkan, “Pikirkan ibumu.”
Aku seperti tersambar petir yang kemudian menyadarkanku. Kalau aku melakukan ini, maka aku akan membuat ibuku semakin sulit. Aku seharusnya tidak menambah beban ibuku, aku harusnya menguatkan dia, seharusnya aku ada bersamanya.
Akhirnya, aku menjauh dari puncak gedung itu. Aku memutuskan tidak melakukannya. Aku menyesal. Mengapa aku melakukan hal ini? Bukankah seharusnya aku dapat mengambil hikmah dari apa yang terjadi?
Singkat cerita, aku kembali ke rumah kemudian ku peluk ibuku yang sedang duduk termenung sambil berkata dalam hati, ‘maafkan aku ibu’.
Dengan kejadian ini aku mengambil suatu kesimpulan bahwa aku tidak akan mau mengikuti jejak ayahku dalam dunia politik. Karena bagiku memasuki dunia politik bagaikan memasuki neraka. Orang yang baik akan menjadi tidak baik dan orang jahat akan terlihat baik.

1 komentar: