Minggu, 21 April 2019

Politik Keraton Yogyakarta



Oleh : Ayu Lestari

“Pilihan dengan landasan toleransi, melambangkan masyarakat majemuk dengan berbagai perbedaan tak kan pernah menjadi masalah” –Ayulea22-
            Yogyakarta sebagai salah satu daerah istimewa di Indonesia dengan segudang keistimewaan dalam berbagai bidang. Salah satu keistimewaan yang paling menonjol di daerah ini yaitu kepemimpinan yang dipimpin oleh seorang sultan, yang sekarang di pegang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sultan dalam hal ini merupakan kepala pemerintahan yang hampir sama seperti gubernur, dihormati oleh warganya dan memiliki kedudukan dan status yang tertinggi di daerah Yogyakarta ini. Dikatakan seorang sultan karena berdasarkan sejarahnya, Kota Yogyakarta ini awalnya merupakan daerah kekuasaan kerajaan Mataram yang merupakan kerajaan Islam. Itulah mengapa sistem kesultanan di Yogyakarta mengguankan sistem islami.
            “Negara dalam negara”, sebuah istilah yang sering dikaitkan dengan DI. Yogyakarta. Memiliki struktur yang berbeda dengan daerah lain tidak menjadi masalah bagi daerah istimewa ini, melainkan menjadi daya tarik tersendiri baik masyarakat lokal maupun manca negara. Berbicara tentang struktur pemerintahan di dalam keraton Yogyakarta, maka sudah pasti dipimpin oleh seorang sultan sebagai penguasa. Untuk memberi nasehat, pertimbangan atau pratinjau terkait semua hal yang berkaitan dengan kebijakan maka disinilah letak fungsi dari seorang istri, keluarga dan seiring perkembangan maka dosen-dosen dari universitas ternama pun dilibatkan dalam hal ini yaitu dosen UGM. Selain itu, untuk struktur dibawahnya lagi ada kewedanan, DPR, dan kantor pemerintahan Yogyakarta.
            Indonesia mini merupakan sebutan lain dari daerah istimewa ini. Sesuai sebutannya, memiliki keberagaman yang tinggi membuat daerah ini menjadi Yogyakarta dengan toleransi yang tinggi. Memasuki bulan politik sekarang ini, maka pilihan apapun tak menjadi masalah bagi pihak keraton. Sesuai dengan sistem politik di keraton yang tidak mengadakan pergantian tahta kesultanan dengan sistem pemilu melainkan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah dibuat dan dilaksanakan secara turun-menurun. Adapun syarat-syarat menjadi seorang sultan yaitu pertama, harus seorang laki-laki. Mengapa harus seorang laki-laki? Karena pada hakikatnya keraton merupakan kerajaan islam dimana pemimpin itu laki-laki. Kedua, anak permaisuri yang paling tua, jika tidak ada anak laki-laki maka dari selir, atau anak dari adik sultan.
            Berkaitan dengan sistem politik di Indonesia yang sedang mengalami hiruk pikuknya politik dengan berbagai embel-embel, seperti “Sandiwara Politik”, “Drama Politik”, sampai pada “Money Politics”. Hal ini tidak menjadi masalah untuk keraton, sultan dituntut untuk netral, bersih dan bebas dengan tidak memihak partai-partai tertentu. Rakyat diberi kebebasan dalam memilih siapa yang akan diamanahi nantinya. Meski pada dasarnya sultan tidak mengalami sistem pemilihan umum, namun tidak mengurangi rasa toleransi terhadap rakyatnya dalam memeriahkan bulan pemilu ini. Bapak KMT. Tirto Joyo Tamtomo, yang merangkap sebagai Abdi Dalem, Pemandu Wisata Keraton, sekaligus Prajurit Keraton mengatakan bahwa keraton akan mengadakan acara-acara dalam memeriahkan pemilu apabila ada dan sesuai permintaan dari rakyat itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi, antusias, dan kepedulian pemerintah keraton terhadap politik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar