Minggu, 21 April 2019

Menuju Pemilu 2019: Media Sosial Sebagai Arena Politik


                                                          Oleh : Kurniatul Jannah
Sambil menyelam minum air. Begitulah kiranya sebutan yang dapat kita berikan bagi sebagian orang pengguna media sosial belakangan ini. Media sosial merupakan laman atau aplikasi yang memungkinkan penggunanya dapat membuat dan berbagi isi atau terlibat dalam jaringan sosial. Namun sejak beberapa bulan menuju bulan April ini fungsi dan peranan dari media sosial meningkat drastis. Tahun politik merupakan sebutan bagi tahun 2019, yang juga menjadi alasan peningkatan fungsi dan peranan media sosial khususnya di bidang politik.
            Berbagi informasi, mencari informasi, serta mencari dukungan politik seperti itulah keadaan media sosial Indonesia di tahun 2019 ini. Media sosial belakangan ini disebut-sebut sebagai arena politik, terlebih bagi para pendukung paslon presiden Indonesia 2019. Maraknya perbincangan media sosial yang dijadikan arena politik menarik untuk menjadi topik bahasan kali ini. Salah satu aktivis politik muda Universitas Negeri Yogyakarta bernama Teguh Eko P. merupakan laki-laki kelahiran Banyumas berumur 21 tahun yang biasa dipanggil Teguh.
            Teguh merupakan mahasiswa yang juga aktif di beberapa media sosial seperti instagram, facebook, dan whatsapp. Selain itu, beberapa media yang ia gunakan untuk mengakses informasi politik adalah indikator politik, Charta Politika, dan SMRC. Berkaitan dengan media sosial yang dijadikan sebagai arena politik khususnya kampanye, Teguh berpendapat bahwa media sosial saat ini merupakan alat yang sangat mudah dan efektif untuk berpolitik dan berkampanye. Dalam berkampanye para paslon menggencarkan media sosial dengan menggunakan konten-konten menarik dan sasaran utama dari kampanye di media sosial ini adalah para pemilih mengambang, yaitu para pemilih yang masih belum menentukan pilihannya. Jadi harapannya dengan adanya kampanye yang dilakukan di media sosial, para pemilih mengambang tersebut kemudian menjatuhkan pilihannya kepada paslon yang berkampanye.
            Selain mengenai kampanye, Teguh juga menambahkan mengenai banyaknya informasi hoax yang mudah menyebar di media sosial. Yang menjadi kenyataan, para pendukung paslon di Indonesia adalah pendukung yang labil. Hal ini dikarenakan kenyataan yang ada adalah apabila para pendukung tersebut mendapatkan berita positif mengenai paslon dukungannya maka mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menyebar luaskan berita positif tersebut. Namun sebaliknya ketika mereka mendapatkan berita negatif mengenai paslon dukungan mereka maka mereka tidak akan percaya, akan menghapus, dan tidak akan pernah menyebar luaskan, bahkan mungkin akan beranggapan hal tersebut adalah hoax. Inilah kenyataan yang terjadi, sebagian besar para pendukung tidak lagi berpikir kritis dan mencari kebenaran berita yang beredar, namun hanya sekedar membaca.
            Kita sebagai generasi milenial harus bisa berpikir kritis, begitu pesan laki-laki berusia 21 tahun ini. Teguh juga memberikan tips-tips bagi generasi milenial yang sering berkutik dengan media sosial agar tidak menjadi korban berita hoax dalam hal apapun khusunya politik. Pertama, jangan mudah percaya pada informasi yang kita dapatkan. Jadi jika kita mendapatkan sebuah informasi apalagi yang profokatif, maka kita wajib mencari kebenaran dan jangan memakan mentah informasi tersebut. Kedua, coba bandingkan berbagai informasi yang ada. Terkadang kita menemukan 2 informasi yang mirip tetapi berbeda makna, maka coba bandingkan dan berpikirlah kritis atas 2 informasi tersebut.  Ketiga, coba cek sumber asli dari informasi tersebut karena saat ini banyak informasi yang tersebar sepotong-sepotong dan tidak lengkap. Hal tersebut sangat perlu dilakukan agar kita tau makna secara utuh dari informasi tersebut.
“Saya selalu mengatakan bahwa kita boleh membaca buku atau informasi yang kanan, kita juga boleh membaca buku atau informasi yang kiri, ataupun buku tengah-tengah. Tapi ingat jangan sampai setelah kita membaca buku atau informasi kanan lalu kita menjadi orang yang sangat kanan, dan jangan sampai ketika kita telah membaca buku yang kiri kemudian kita menjadi orang yang terlalu kiri, maka berusahalah berpikir kritis dan rasional dari informasi apapun yang kita baca atau dapatkan.”-Teguh, 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar