Oleh: Zia
Khusnullabib Ahmad
April
2019 ini pemilu kembali digelar untuk kesekian kalinya. Mengusung format baru
dari penyelenggaraannya, pemilihan legislatif dan presiden dilaksanakan
serentak. Berbagai portal berita dan media massa berpendapat pemilu kali ini
akan lebih panas. Selain faktor serentak nyoblos
5 surat suara sekaligus,
bumbu-bumbu yang mengekor dalam perjalanan bahkan dari pemilu 2014 ke pemilu
2019 ini menjadi faktor penting yang membentuk barikade partai-partai yang
berkompetisi. Sehingga pemilu 17 April nanti diprediksi adalah puncak dari
hasil “kampanye” 5 tahun ini.
Hampir
setiap tahun baik partai maupun media selalu memunculkan “data dan fakta” untuk
menarik masyarakat yang tidak lain untuk memberikan empatinya kepada pemilu
2019 nanti. Banyaknya “data dan fakta” yang bermunculan lebih banyak mengekspos
pada pemilihan calon presiden. Selain dengan “data dan fakta” yang bermunculan
adanya debat maupun kegiatan kampanye menjadi jembatan untuk masyarakat
mengetahui kelayakan calon presidennya.Hal inilah yang menjadikan selama ini
masyarakat seperti ditengah-tengah perang kredibilitas antar calon presiden dan
wakil presiden.
Namun,
hal itu berbanding terbalik dengan banyaknya pemilu di daerah-daerah. Saat kita
selama ini diperlihatkan perang kredibilitas antar pasangan calon presiden dan
wakil presiden, hal tersebut tidak dilakukan oleh calon legislatif. Adanya
pemilu serentak seakan lebih memfokuskan pada pemilihan presiden saja,
sedangkan pemilihan legislatif seperti tenggelam. Padahal seharusnya kita harus
lebih tahu dahulu para calon legislatif
yang akan mewakili warga masyarakat di daerah maupun pusat.
Di
berbagai daerah saja masih banyak masyarakat yang bahkan tidak mengenal atau
kurang tahu calon legislatif yang mewakili daerah pemilihannya. Tentunya hal ini sangat berbeda 180
derajat dengan konsumsi kita tentang seluk beluk calon presiden kita. Mungkin
hanya lewat spanduk-spanduk dipinggir jalan yang memasang wajah mereka para
calon legislatif mengenalkan dirinya. Mungkin kita hanya tahu namanya saat
pencalonan pemilu lima tahun lalu atau lima tahun yang akan datang. Hal ini pun menimbulkan
berbagai pertanyaan, lalu bagaimana masyarakat tahu kredibilitas calon
legislatif nya? Sedangkan masyarakat sendiri saja masih awam dengan calon
legislatif yang akan dipilihnya.
Tapi
jika kita menilik pada pemilu-pemilu sebelumnya yang terjadi di daerah-daerah
selama ini tidak hanya berpatokan dengan kredibilitas seorang calon legislatif
semata. Masih kuatnya primordialisme suatu partai di suatu daerah menjadi hal
yang sangat kuat dalam pemilihan legislatif. Seperti disuatu daerah yang sudah
dikenal sebagai basis suatu partai dalam memperoleh suaranya, maka daerah
tersebut akan selalu menjadi daerah yang mendulang suara bagi partai tersebut.
Adanya primordialisme tersebut yang membentuk loyalitas masyarakat terhadap
suatu partai politik. Dalam pemilihan legislatif banyak masyarakat yang kadang
tidak mengenal atau kurang tahu calon legislatif nya, namun hanya berpatokan
partai asal dari para calon legisatif.Maka di daerah-daerah, kredibilitas
seorang calon legislatif menjadi tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat.
Terlebih digelar serentaknya pemilu tahun ini, masyarakat lebih tertarik dengan
pemilihan presiden dibanding mengetahui calon legislatifnya.
Wajah
partai masih mendominasi pemilu di daerah dibandingan dengan wajah calon
legislatif itu sendiri. Partai bukan lagi menjadi kendaraan namun menjadi wajah
bagi calon legislatif untuk mendulang suara di daerah-daerah.Tentunya hal
tersebut tidak bisa secara mutlak dibenarkan, masyarakat juga perlu melihat dan
tahu kredibilitas calon legislatif. Karena mungkin setiap calon legislatif yang
ada di partai tidak selalu merepresentasikan partainya maupun sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar