Jelaskan apa
yang menjadi Obyek Kajian Etnografi Kejahatan di Indonesia! Tunjukkan
relevansinya dengan Kriminologi dan apa manfaatnya bagi Anda mengkaji masalah
tersebut!
Berdasarkan
pengertian etimologisnya, kata ‘etnografi’ berasal dari ‘ethnos’ yang berarti
suku-bangsa atau masyarakat, dan ‘graphos’ yang berarti tulisan atau kisah.
Pengertian etnografi sendiri dapat dijelaskan sebagai sebuah disiplin ilmu yang
mencoba untuk memahami fenomena budaya yang mencerminkan pengetahuan dan sistem
nilai yang membangun satu kehidupan sebuah kelompok unik tertentu (Geertz,
1973; Philipsen, 1992).).
Berangkat dari
pengertian kata ‘etnogrfi’ itu, secara sederhana, etnografi kejahatan merupakan
satu disiplin ilmu yang mengkaji tentang fenomena kejahatan di berbagai daerah
di Indonesia, yang bentuk-bentuknya dipengaruhi oleh faktor budaya atau tradisi
etnis tertentu di daerah-daerah tersebut. Obyek kajiannya ialah perilaku atau
tindakan yang membudaya dalam kelompok budaya tertentu yang kemudian dianggap
menyimpang oleh kebudayaan dominan, atau tindakan yang seringkali bertentangan
dengan tatanan nilai dan norma masyarakat umum di luar kelompok budaya
tersebut.
Mempelajari
etnografi memiliki relevansi yang signifikan dalam kriminologi. Hal ini
disebabkan banyak dari tingkah laku dan perilaku dari kelompok budaya tertentu
yang sering dianggap sebagai tingkah laku di luar norma (norma budaya dominan)
sehingga disebut sebagai penyimpangan dan kejahatan. Tidak jarang, tingkah laku
ini berujung pada penghilangan nyawa atau pengrusakan properti. Tanpa memahami
lebih jauh dari tradisi satu kelompok budaya, para kriminolog akan terjebak
pada titik ‘kacamata kuda’ dalam mengkaji fenomena kejahatan dan penyimpangan
di masyarakat.
Dalam memahami
perilaku atau tindakan tersebut, seorang kriminolog budaya, dengan kajian
etnografi kejahatannya, berusaha mencoba mempelajari secara mendalam tentang
tradisi dan nilai-nilai tertentu yang dipahami oleh kelompok budaya tersebut
dan mencoba menemukan jawaban mengapa mereka melakukan perilaku atau tindakan
itu. Sebagaimana halnya dengan kerangka kerja disiplin ilmu etnografi itu
sendiri, yakni mengumpulkan data empirik pada masyarakat dalam kelompok budaya
tertentu, yang bertujuan untuk memberikan gambaran sifat dasar atau watak dari
subjek-subjek yang diteliti, melalui penjabaran dalam tulisan (Maynard &
Purvis, 1994), etnografi kejahatan juga melakukan hal yang sama untuk
menelusuri pola tingkah laku yang membudaya pada kelompok masyarakat yang
bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk memahami lebih jauh mengapa tindakan itu
ada dan tidak dianggap menyimpang oleh kelompoknya, dengan melihatnya dari
sudut pandang kelompok tersebut. Pemahaman holistik yang kita miliki terhadap
sistem nilai dan tradisi suatu budaya tertentu tersebut akan memberikan manfaat
kepada kita, kau akademisi, untuk menemukan cara pencegahan atau pengurangan
dan pengendalian sosial kejahatan yang selaras dengan sistem budaya dan etnis
atau kelompok budaya tertentu tersebut.
Jelaskan apa
yang Anda ketahui tentang Cultural Ethnocentrism dan Cultural Relativism serta
Realtivisme Kejahatan. Gunakan contoh untuk memperjelas jawaban Anda!
Cultural
ethnocentrism atau etnosentrisme budaya merupakan satu pandangan yang melihat
bahwa kelompok etnis tertentu adalah lebih unggul dibandingkan kelompok etnis
lainnya. Subjek yang memiliki paham etnosentris selalu melakukan penilaian atau
pertimbangan satu nilai budaya tertentu dengan melihatnya berdasarkan sudut
pandang nilai budaya yang dimilikinya sendiri (Omohundro, 2008).
Sementara itu,
cultural relativism adalah sebuah konsep atau asas yang dirumuskan oleh seorang
antropolog Franz Boas (1858 – 1942) di awal abad ke-20 yang berusaha untuk
menciptakan disiplin ilmu budaya yang tidak etnosentris terhadap kelompok
budaya yang berbeda-beda. Cultural relativism atau relativisme budaya merupakan
satu konsep atau paham yang melihat kepercayaan dan aktivitas individual
sebagai sesuatu yang dipahami oleh orang-orang lain dalam sudut pandang kebudayaan
individu tersebut. Boas berpendapat bahwa kebudayaan atau peradaban tidak
bersifat absolute, melainkan relatif sehingga gagasan dan konsepsi yang kita
yakini hanya dapat dikatakan benak jika dilihat dari kebudayaan kita sendiri,
dan belum tentu benar jika dilihat dari perspektif kebudayaan orang lain (Boas,
1887: 589).
Relativisme
kejahatan merupakan satu konsep yang digunakan dalam kriminologi untuk memahami
kejahatan tidak berdasarkan satu sudut pandang. Kemal Dermawan (2005)
menjelaskan bahwa dalam mempelajari kejahatan, kita harus memiliki pengetahuan
tentang batasan dan kondisi kejahatan di dalam kelompok masyarakat yang
bersifat relatif. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti misalnya
ketertinggalah hukum karena perubahan nilai sosial atau perkembangan perilaku
masyarakat. Perbedaan cara dan pendekatan juga menjadi pertimbangan, apakah
secara legal (hukum) atau secara moral (Kemal Dermawan, 2005).
Hal ini bisa
kita lihat pada contoh fenomena Siri’ sebagai perilaku yang membudaya di kelompok
masyarakat Bugis. Bagi masyarakat umum, perilaku yang terlihat pada aksi siri’
yang dapat berujung pada tindakan kekerasan seringkali dianggap salah dan
menyimpang, bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM). Namun demikian, hal itu
dianggap wajar oleh masyarakat Bugis sendiri, karena ada ajaran keyakinan di
dalam tradisi mereka untuk mempertahankan harga diri. Perbedaan tatanan nilai
dalam kelompok budaya ini harus menjadi satu pertimbangan yang menjadi
perhatiak studi etnografi kejahatan yang melihat bahwa kejahatan tersebut
bersifar relatif.
Contoh lainnya
ialah tentang hak kepemilikan. Dahulu, hak kepemilikan diatur oleh ketentuan
dan peraturan legal (Undang-Undang) setiap negara, bahwa menggunakan nilai
barang atau karya yang memiliki nilai hak kepemilikan tanpa ijin pemiliknya
dianggap sebagai pelanggaran. Namun demikian, hal tersebut menjadi bias pada
jaman sekarang dengan berkembangnya teknologi internet. Terutama di Indonesia,
rumusan hukum kita belum memiliki ketentuan yang detail tentang hal ini,
disebabkan oleh perkembangan teknologi canggih itu yang melebihi kecepatan
perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Jelaskan apa
yang Anda ketahui tentang Conflict of Conduct Norm. Gunakan contoh untuk
memperjelas jawaban Anda!
Conduct norm
merupakan sebuah konsep yang menjelaskan bahwa sebuah kelompok tertentu yang
membangun sebuah budaya atau perilaku dan tingkah laku unik dalam memberi
tanggapan terhadap tegangan sosial (Sellin, 1938). Kelompok budaya ini
mempertahankan atau memelihara sebuah perilaku norma yang berlaku dalam
kelompok mereka yang mengatur kondisi kehidupan sehari-hari mereka di dalam
lingkungan kelompok tersebut (Siegel, 2010).
Berbeda dengan
hukum pidana yang berisikan ketentuan norma kejahatan yang mencerminkan
nilai-nilai kelompok yang dominan yang mengontrol perilaku melalui proses
legislatif, conduct norm lebih mencerminkan nilai sosial budaya yang lain, yang
melekat pada kelompok tertentu, dan biasanya bertentangan dengan norma-norma
dominan yang mengatur. Oleh karena itu, conflict of conduct norm atau konflik
perilaku norma itu muncul sebagai hasil dari proses diferensiasi kelompok dalam
sistem budaya. Sellin menjelaskan bahwa jika satu norma hukum dari satu
kelompok merasuk atau menyebar ke dalam daerah yang sebelumnya tidak menyadari
atau mengenal norma hukum tersebut, hal itu akan menimbulkan kebingungan dan
pelanggaran norma-norma oleh individu atau masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Contohnya,
seperti yang dijelaskan oleh Jana Arsovska and Philippe Verduyn (2007: 226-246),
tatanan kehidupan modern yang tumbuh di wilayah Barat melihat bahwa tindakan
kekerasan dalam bentuk apa pun dianggap sebagai tingkah laku yang immoral.
Dalam konsepsi modernitas, sistem peradilan pidana memiliki otoritas untuk
mengadili penjahat sehingga, secara terbuka dan diyakini oleh umum, masyarakat
mengakui dan mengamini keinginan untuk menghukum berat seseorang yang telah
melakukan tindakan yang diluar norma hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Hal yang bertentangan terjadi pada masyarakat Albania, yang memiliki
tradisi adat tertentu, yakni Kanun of Lek Dukagjini, yang memiliki pemahaman
bahwa adanya kesediaan untuk menggunakan kekerasan dan pemutusan keadilan ke
diri sendiri, yang oleh hukum dianggap sebagai penyimpangan (Arsovska & Verduyn,
2008: 228).
Contoh lainnya
adalah adat yang membudaya di wilayah tertentu di Papua. Bagi masyarakat di
sana, terdapat satu tradisi bahwa seorang laki-laki akan memperkosa perempuan
yang menarik hatinya sebanyak beberapa kali sebagai tanda untuk melamar. Dalam
sudup pandang hukum pidana di Indonesia, perilaku tersebut dianggap menyimpang.
Persebaran ketentuan hukum pidana Indonesia di wilayah yang telah memiliki adat
istiadat yang mengakar ini terkadang memunculkan satu kebingungan dan berujung
pada konflik norma perilaku tersebut.
Jelaskan
fenomena Conflict of Conduct Norm dalam kasus Carok (Madura) dan kasus Seks
Bebas di Gunung Kemukus!
Pada kasus Carok
(Madura), ada dua aspek yang dapat dilihat terkait dengan konflik perilaku
normanya (conflict of conduct norm). Pertama, konflik terhadap hukum pidana.
Kedua, konflik terhadap norma masyarakat setempat (Dayak).
Misalnya saja,
dalah Pasal 338 KUHP, yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan,dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.” Hal ini menegaskan bahwa tindakan menghilangkan nyawa seseorang
merupakan satu tindakan yang melanggar norma hukum. Namun, bagi masyarakat
Madura, Carok merupakan satu identitas khas yang tidak dapat terlepaskan
dalam kehidupan bertradisinya. Bagi mereka, carok adalah sebuah pembelaan harga
diri yang direndahkan oleh orang lain. Carok menjadi penting untuk menjunjung
tinggi kehormatannya mereka sebagai manusia. Hal ini sejalan dengan filosofi
mereka, etambang pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung
perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi motivasi Carok.
(Mien, 2007). Penuntasan sebuah masalah dengan cara Carok dilakukan untuk
mendapatkan rasa lega, puas dan kembalinya rasa kebanggaan (A. Latief, 2002).
Tradisi Carok
ini sudah ada sejak dahulu, sebelum hukum pidana resmi digunakan sebagai hukum
positif di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka yang kemudian mengadopsi hukum
warisan Belanda menjadi Hukum Pidana, dan ketika jaman Orde Baru memberlakukan
transmigrasi, fenomena Carok berubah menjadi satu penyimpangan karena
berbenturan dengan hukum nasional yang berlaku.
Kedua, tradisi
Carok mengalami konflik bagi masyarakat Dayak sendiri, yang juga memiliki adat
yang berbeda. Norma masyarakat setempat tidak selaras dengan norma yang dibawa
oleh masyarakat Madura. Kaum Dayak memahami tanah kelahiran sebagau tanah
ulayat (tanah leluhur) yang tidak boleh dieksploitasi, sedangkan masyarakat
Madura percaya bahwa di mana bumi dipijak, di sana lah sumber daya bisa
dimanfaatkan. Kesuksesan masyarakat Madura dalam ranah lapangan pekerjaan
memunculkan kecemburuan sosial sehingga berhujung konflik dan terjadinya
tindakak kekerasan (perang antar suku bangsa).
Sementara itu,
pada kasus Seks Bebas di Gunung Kemukus, hal ini juga bertentangan dengan norma
agama Islam yang mayoritas dianut oleh masyarakat setempat. Dalam hukum Islam,
seks bebas dianggap sebagai tindakan zinah yang berdosa. Namun, jika kita lihat
lagi, masyarakat setempat juga memiliki keyakinan bahwa untuk mendapatkan apa
yang mereka inginkan ketika berziaran ke makam Pangeran Samudro di Gunung itu,
mereka harus melakukan semacam ritual berupa seks bebas. Pada perkembangannya,
hal ini berubah menjadi tindakan penyimpang yang sering disalahgunakan oleh
perempuan masyarakat untuk mencari keuntungan. Oleh karenanya, bisnis
prostitusi tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini, norma agama (hukum Islam)
merupakan hukum yang dominan, sedangkan pemahaman masyarakat setempat merupakan
norma unik yang dianut oleh kelompok tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar