Oleh
: Ni Luh Sriyani
Layaknya
dua sisi mata uang, 2019 menjadi tahun dimana masyarakat Indonesia dihadapkan
pada sebuah dilematika yang tinggi. Konstelasi
politik di tahun ini tidak hanya sekedar
membuat masyarakat dilema tentang
siapa sosok terbaik yang akan menjadi pilihannya dalam pemilu nanti atau
tidak hanya tentang pilihannya untuk memutuskan golput atau tidak. Lebih dari itu, 2019 menjadi tahun dimana
masyarakat dihadapkan pada dua peristiwa yang sangat krusial. Di satu sisi 2019
akan menjadi tahun dimana seluruh rakyat
bersorak gembira merayakan pesta demokrasi melalui pemilihan
umum, di sisi lain, tahun ini juga akan menjadi tahun yang sangat riskan dengan
isu-isu politik dan labelisasi politik yang mengarah pada benih-benih
perpecahan. Benih perpecahan tersebut timbul dari euforia pendukung pasangan calon
yang berlebihan
dalam mengekspresikan diri untuk mendukung pasangan calonnya, yang akhirnya
berdampak pada sikap yang abai terhadap aspek kepentingan umum serta
kepentingan bangsa dan negara yang sesungguhnya. Ketika aspek tersebut sudah diabaikan bukan
tidak mungkin konflik antara pendukung satu dengan pendukung lainnya akan terjadi.
Euforia pendukung yang berlebihan pada kandidat pasangan calon akan
bermuara pada sebuah upaya atau strategi pemenangan yang mungkin saja
mengesampingkan hakikat persatuan dan kesatuan serta nilai-nilai toleransi yang
seharusnya dijaga dalam rangka menghindari perpecahan atau konflik dalam ranah
politik.
Seperti
yang disampaikan oleh Kepala Jurusan Program Studi Pendidikan Sosiologi FIS UNY
Grendi Hendrastomo mengenai polemik politik yang kerap terjadi di tahun ini.
Beliau menilai bahwa polemik politik merupakan sesuatu yang wajar terjadi dalam
persaingan politik ini, namun kewajaran tersebut akan berubah pada level mengkhawatirkan apabila sudah
muncul sebuah klaim bahwa kubu pasangan calonnya yang paling benar tanpa
memandang dan menghargai kubu lain. “Hanya gara-gara berbeda pilihan kemudian
kita semacam menarik garis demarkasi atau memposisikan diri kita berbeda dengan
pendukung kubu A dan kubu B, hal tersebut sebenarnya mengganggu keharmonisan
masyarakat walaupun di satu sisi perbedaan pendapat di antara dua kubu adalah
suatu hal yang biasa, hanya saja masalah akan timbul ketika mereka mengklaim bahwa kubunya yang paling
benar tanpa kemudian melihat bahwa kubu yang lain sebenarnya juga sama, hal itu
yang kemudian membahayakan situasi bangsa kita saat ini.” Ujar Grendi Hendrastomo. Tidak hanya menyoal itu saja, beliau juga
menyampaikan bahwa labelisasi politik semacam ujaran kampret dan kecebong merupakan
sebuah bentuk negasiasi antara pendukung kedua kubu. Sebenarnya istilah kampret dan kecebong tidak menjadi masalah jika merujuk pada tataran bawah,
hanya saja media sosial seakan-akan membesar-besarkan istilah tersebut sebagai
sebuah perbedaan, padahal pada tataran
bawah istilah tersebut bukanlah sebuah permasalahan. Beliau pun menyampaikan
bahwa politik itu sangat cair, hari ini jadi lawan besok boleh jadi kawan.
Polemik
politik yang saat ini kerap terjadi baik secara langsung maupun melalui media
sosial menggiring kita pada sebuah pertanyaan mendasar mengenai kemanakah arah
atau muara polemik ini pada akhirnya, apakah berlabuh pada kebajikan atau
sebaliknya ? Jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi sangat rancu ketika kita
melihat realita di lapangan bahwa polemik politik semakin menjadi-jadi hingga
kemudian memunculkan bibit-bibit perpecahan yang mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa. Namun, bukan tidak mungkin jika polemik politik justru membuka
paradigma kita terhadap kesadaran berpolitik yang hakiki. Karena sejatinya
polemik atau konflik merupakan suatu hal yang biasa terjadi dalam dunia politik
selama masih dalam tahap wajar serta tidak mengganggu keharmonisan masyarakat.
Pada intinya kesadaran akan esensi politik yang sebenarnya akan menjadikan kita
pribadi yang lebih dewasa dalam menanggapi polemik yang kerap terjadi serta
membuka pikiran kita bahwa sesungguhnya polemik tidak selalu berujung pada
perpecahan, sebaliknya, polemik dalam takaran yang wajar akan menjadi refleksi
politik bagi sebuah bangsa yang pada akhirnya bermuara pada kemampuan seluruh
komponen bangsa dalam menjaga persatuan dan kesatuan di tengah carut marut
dunia politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar