Minggu, 21 April 2019

Polemik Politik Akankah Berlabuh di Samudera Kebajikan ?


   Oleh  : Ni Luh Sriyani

Layaknya dua sisi mata uang, 2019 menjadi tahun dimana masyarakat Indonesia dihadapkan pada sebuah dilematika yang tinggi. Konstelasi  politik di tahun ini tidak hanya sekedar  membuat masyarakat dilema tentang  siapa sosok terbaik yang akan menjadi pilihannya dalam pemilu nanti atau tidak hanya tentang pilihannya untuk memutuskan golput atau tidak.  Lebih dari itu, 2019 menjadi tahun dimana masyarakat dihadapkan pada dua peristiwa yang sangat krusial. Di satu sisi 2019 akan menjadi tahun dimana seluruh rakyat  bersorak gembira merayakan pesta demokrasi melalui pemilihan umum, di sisi lain, tahun ini juga akan menjadi tahun yang sangat riskan dengan isu-isu politik dan labelisasi politik yang mengarah pada benih-benih perpecahan. Benih perpecahan tersebut timbul dari euforia pendukung pasangan calon yang berlebihan dalam mengekspresikan diri untuk mendukung pasangan calonnya, yang akhirnya berdampak pada sikap yang abai terhadap aspek kepentingan umum serta kepentingan bangsa dan negara yang sesungguhnya.  Ketika aspek tersebut sudah diabaikan bukan tidak mungkin konflik antara pendukung satu dengan pendukung lainnya akan terjadi. Euforia pendukung yang berlebihan pada kandidat pasangan calon akan bermuara pada sebuah upaya atau strategi pemenangan yang mungkin saja mengesampingkan hakikat persatuan dan kesatuan serta nilai-nilai toleransi yang seharusnya dijaga dalam rangka menghindari perpecahan atau konflik dalam ranah politik.
Seperti yang disampaikan oleh Kepala Jurusan Program Studi Pendidikan Sosiologi FIS UNY Grendi Hendrastomo mengenai polemik politik yang kerap terjadi di tahun ini. Beliau menilai bahwa polemik politik merupakan sesuatu yang wajar terjadi dalam persaingan politik ini, namun kewajaran tersebut akan berubah pada level mengkhawatirkan apabila sudah muncul sebuah klaim bahwa kubu pasangan calonnya yang paling benar tanpa memandang dan menghargai kubu lain. “Hanya gara-gara berbeda pilihan kemudian kita semacam menarik garis demarkasi atau memposisikan diri kita berbeda dengan pendukung kubu A dan kubu B, hal tersebut sebenarnya mengganggu keharmonisan masyarakat walaupun di satu sisi perbedaan pendapat di antara dua kubu adalah suatu hal yang biasa, hanya saja masalah akan timbul ketika  mereka mengklaim bahwa kubunya yang paling benar tanpa kemudian melihat bahwa kubu yang lain sebenarnya juga sama, hal itu yang kemudian membahayakan situasi bangsa kita saat ini.”  Ujar Grendi Hendrastomo.  Tidak hanya menyoal itu saja, beliau juga menyampaikan bahwa labelisasi politik semacam ujaran kampret dan kecebong merupakan sebuah bentuk negasiasi antara pendukung kedua kubu. Sebenarnya istilah kampret dan kecebong tidak menjadi masalah jika merujuk pada tataran bawah, hanya saja media sosial seakan-akan membesar-besarkan istilah tersebut sebagai sebuah perbedaan,  padahal pada tataran bawah istilah tersebut bukanlah sebuah permasalahan. Beliau pun menyampaikan bahwa politik itu sangat cair, hari ini jadi lawan besok boleh jadi kawan.
Polemik politik yang saat ini kerap terjadi baik secara langsung maupun melalui media sosial menggiring kita pada sebuah pertanyaan mendasar mengenai kemanakah arah atau muara polemik ini pada akhirnya, apakah berlabuh pada kebajikan atau sebaliknya ? Jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi sangat rancu ketika kita melihat realita di lapangan bahwa polemik politik semakin menjadi-jadi hingga kemudian memunculkan bibit-bibit perpecahan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, bukan tidak mungkin jika polemik politik justru membuka paradigma kita terhadap kesadaran berpolitik yang hakiki. Karena sejatinya polemik atau konflik merupakan suatu hal yang biasa terjadi dalam dunia politik selama masih dalam tahap wajar serta tidak mengganggu keharmonisan masyarakat. Pada intinya kesadaran akan esensi politik yang sebenarnya akan menjadikan kita pribadi yang lebih dewasa dalam menanggapi polemik yang kerap terjadi serta membuka pikiran kita bahwa sesungguhnya polemik tidak selalu berujung pada perpecahan, sebaliknya, polemik dalam takaran yang wajar akan menjadi refleksi politik bagi sebuah bangsa yang pada akhirnya bermuara pada kemampuan seluruh komponen bangsa dalam menjaga persatuan dan kesatuan di tengah carut marut dunia politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar