Minggu, 19 Juni 2011

Nyawaku, Pendidikanmu

“Bisa tukar recehan, Mas?”, tanya seorang lelaki tua pada pelayan toko. “Bisa Pak”, jawab pelayan toko singkat.

Siang itu cuaca sangat panas. Matahari bergembira dengan harinya. Jalan raya nampak ramai dipenuhi mobil dan motor, juga dengan kebisingan yang dibuatnya. Lelaki tua itu mulai mengeluarkan satu per-satu koin yang ada dalam tas usang yang dibawanya. Sambil mengusap keringat yang membanjiri dahinya, dia menikmati beberapa menit itu untuk sedikit menghirup nafas.


Sambil memandang foto yang ada dalam dompetnya, foto anak kecil berusia sembilan tahun. Ya, dia adalah anak semata wayangnya. Pikiran pun terus melambung pada masa depan si anak. Di hatinya terus berbisik tentang kerja demi menyambung hidup dan menyekolahkan anaknya. “Totalnya sebelas ribu seratus pak,” sekejab pelayan membuyarkan lamunan lelaki tua itu.

Kemudian diterimanya uang yang telah dia tukar dan disimpan dalam dompet. Kembali dia berjalan menyusuri aspal keras dengan terik matahari yang setia beriringan. Toko demi toko dihampirinya untuk berpentas sebentar, sambil berharap sekepingan receh sang juragan.

Lama sudah dia mencari uang, tak terasa adzan ashar berkumandang. Dia bergegas menuju masjid terdekat. Diambilnya air wudhu, dibasuhnya muka lusuhnya. Terasa begitu segar, seperti hujan di tengah musim kemarau. Bergegas dia memenuhi kebutuhannya untuk sholat. Seusai sholat, saat semua jamaah telah meninggalkan masjid, dengan lirih dia berdoa, “Ya Allah, andai ragaku ini tak lagi kuat menerima beban dari-Mu maka aku ikhlas kembali pada-Mu. Namun aku mohon, jagalah anakku dan jadikan dia orang yang sukses. Tidak seperti ayahnya. Berikan kesempatan baginya untuk mengenyam pendidikan, sebagai jembatan untuk mengapai cita-cita.”

Seorang ayah yang hanya tamatan SD dengan mimpi yang besar untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, mungkinkah bisa terwujud? Mungkin orang-orang di luar sana akan mengatakan hal itu mustahil atau hanya mimpi di siang bolong. Namun baginya, itu merupakan tekad yang harus diwujudkan dengan kerja keras.

Bergegas dia pulang ke rumah untuk menemui sang buah hati. Jarak yang lumayan jauh harus dia jalani untuk sampai di rumah tercinta. Setelah beberapa jam dia berjalan akhirnya dia sampai juga di rumahnya. Di halaman rumah, sang anak sudah menunggu kepulangannya. Melihat sang ayah sudah pulang, diletakkannya buku yang sedang dia baca lalu berlari menyongsong sang ayah. Dipeluknya anak itu oleh ayahnya. Suasana menjadi sangat hangat.

Sudah setahun mereka hidup berdua. Setelah sang ibu meninggal karena kanker ganas yang merenggut nyawanya. Semua harta telas habis untuk berobat, hanya menyisakan rumah reot dengan genting yang tak lagi utuh. Ditambah ketika dia harus kehilangan pekerjaannya sebagai buruh pabrik. Hal yang harus dia jalani dengan ikhlas dan tabah.
“Ayah, aku sudah memasakan sayur kesukaan ayah hari ini”, kata anak memecah hangat suasana.
“Memang Adi masak apa?”
“Adi sudah masak sayur dan tempe goreng untuk ayah. Ayo kita makan!” Bergegas mereka masuk ke dalam rumah untuk segera menyantap makanan yang sudah terhidang. Adi di usia yang baru sembilan tahun, dia memang sudah mahir memasak. Hal yang memang harus dia kuasai setelah ibunya meninggal.

Dalam hati sang ayah dia tak tega melihat sang anak harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah mulai dari mencuci pakaian sampai memasak. Hal yang belum seharusnya dia lakukan sendirian. Beginilah kehidupan yang harus dijalani mereka berdua.

Selesai makan mereka mandi dan bergegas menuju masjid karena adzan maghrib sudah berkumandang memanggil ummat untuk mendekat pada Tuhannya. Mereka habiskan waktu maghrib dan isya di masjid dengan sholat dan mengaji. Sehabis isya mereka pulang kembali ke rumah. Adi bergegas mengambil buku pelajarannya. Dengan ditemani lampu minyak yang nampak usang. Berbeda dengan semangat adi yang begitu membara, membakar semua virus-virus keputus asaan dengan keadaan yang dia alami kini.

Sang ayah setia menemaninya sambil berbaring di tikar menatap ke atas. Dilihatnya genting-genting yang tampak sudah rusak, kayu penyangganyapun sudah minta diganti. Dilihatnya sesekali anaknya yang sedang serius belajar. Dalam hatinya dia berarap anaknya bisa berprestasi dan bisa tetap bersekolah sampai jenjang pendidikan tertinggi. Baginya pendidikan sang anak adalah nomor satu dibanding kebutuhan lainya. “Tetaplah berjuang anakku”, katanya lirih.

Setelah selesai belajar adi menghampiri sang ayah yang masih istirahat. Mereka mengobrol layaknya anak dengan ayah biasanya. Sang ayah bertanya pada anaknya, “Nak jika kelak kamu besar, kamu ingin jadi apa?” Sang anakpun menjawab, “Aku ingin jadi dokter ayah, agar bisa mengobati orang-orang yang tak punya uang untuk berobat”. “Sungguh mulia cita-citamu nak, ibumu pasti bangga di sana dan semoga apa yang kau cita-citakan dapat terwujud”, sambut sang ayah. Dia tahu kenapa anaknya berbicara seperti itu. Anaknya ingin agar semua orang miskin dapat berobat, tidak seperti ibunya yang harus meninggal karena biaya berobat yang teramat mahal.

“Nak, ayah berpesan teruslah belajar dengan rajin guna menggapai cita-citamu. Ayah akan bekerja keras demi pendidikanmu, agar kamu bisa bersekolah sampai jenjang tertinggi”, pesan sang ayah. Tak terasa sang anak telah terlelap dalam pelukannya. Diciumnya kening sang anak, dan ia mulai memejamkan mata seraya berharap mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan.

Jam sudah menunjukkan pukul 03.30. Suara ayam berkokok bersautan, seakan sangat senang menyambut mentari pagi. Pak Marjo ayah Adi terbangun dalam lelapnya. Ia kemudian membangunkan Adi anaknya untuk sholat malam bersama. seusai sholat mereka melanjutkan aktifitas dengan menanak nasi dan memasak sayur untuk sarapan. Tak lama terdengar suara adzan terdengar, merekapun bergegas menuju masjid untuk melaksanakan sholat. Sepulang dari masjid mereka kembali melanjutkan pekerjaan rumah mereka.

Tak terasa waktu telah menunjukan pukul 06.30. Adi sudah siap untuk berangkat sekolah dan sang ayahpun sudah siap untuk menjemput rejekinya. Sampai saat ini Pak Marjo memang menutupi pekerjaanya sebagai pengamen agar anaknya tidak malu dengan teman-temannya. Ketika ditanyakan perihal pekerjaan oleh sang anak, dia selalu menjawab bahwa dia bekerja sebagai buruh pabrik.

Mereka berdua lantas bergegas menuju sekolah. Dilewatinya jalan setapak yang biasa mereka lewati. Jalan yang menjadi saksi perjuangan sebuah keluarga kecil merenda cita-cita nan tinggi. Sesampainya di sekolah, Pak Marjo lantas melanjutkan perjalanan ke pasar untuk kembali mengais rejeki dengan berbekal kecrekan dari tutup botol yang dia buat. Hanya benda itulah yang bisa menjadi harapan hidup keluarganya, sebab setelah sempat mengalami patah tangan saat bekerja sebagai buruh, tak ada lagi yang mau memberinya pekerjaan.

Satu demi satu toko dia hampiri dengan selalu berharap sang pemilik mau memberinya beberapa keping koin untuknya. Kadang tak mendapat apa-apa. Ejekan, di anggap sampa masyarakat dan dimarahi sang pemilik toko adalah makanan yang biasa baginya. “He pengamen! Pergi dari sini, saya tak mau melihatmu, saya juga orang susah tau!”, umpat pemilik toko. Pak Marjo hanya tertunduk malu dan bergegas melangkahkan kakinya.

Tak terasa matahari sudah berada di atas kepala. Dia segera mencari masjid untuk sholat dan beristirahat. Dihitungnya kepingan koin yang dia dapatkan hari ini. “Ternyata hanya dapat lima ribu, hanya cukup buat beli beras besok”, ungkapnya lirih. Dan dia lebih memilih pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui anaknya. Di jalan dia sempat melihat penjual buah, dan dibelikannya satu kilo jeruk untuk adi anaknya.

Dilihatnya anaknya sudah menunggu kedatangannya di depan rumah. “Ayah, hari ini ulanganku dapat nilai seratus”, kata Adi pada ayahnya. “Alhamdulillah, terus belajar ya nak, jangan kenal menyerah”, jawab sang ayah. “Ini Ayah bawakan jeruk untukmu”, tambah ayah lagi. Di tengah kebersamaan mereka berdua, sang anak berkata. “Yah, sebentar lagi aku tes akhir semester dan harus melunasi SPP untuk ikut ujian”, kata Adi pada ayahnya. Pak Marjo menjawab, “Iya nak, besok bapak bayar”.

Malam sudah menjelang, seperti biasa Adi menghabiskan waktunya untuk belajar.  Sang ayah setia mendampinginya seperti setianya lampu minyak bersinar menerangi dalam kamar. Sambil menemani anaknya belajar ia berfikir keras untuk mencari biaya guna membayar uang sekolah anaknya. Akhirnya diputuskan untuk menjual kalung peninggalan istrinya untuk membayar uang sekolah anaknya. Apapun akan dilakukan Pak Marjo untuk menyekolahkan anaknya. Apapun itu akan dia lakukan.

Keesokan paginya dia bergegas menuju toko mas untuk menjual kalung itu. Uang seratus lima puluh ribu berada di tangan sebagai ganti dari kalung. Seratus ribu untuk membayar sekolah anaknya yang sudah menunggak beberapa bulan lamanya, bahkan hampir satu tahun dan sisanya untuk keperluan sehari-hari.

Suatu pagi saat jam istirahat tiba-tiba teman-teman Adi mendekatinya. “Hei anak pengamen, ngapain kamu disini? Disini bukan tempatnya pengamen, pergi saja sana!”, umpat mereka terhadap Adi. “Bukan, ayahku bukan pengamen dia buruh pabrik”, jawabnya sambil menahan air mata mendengar hinaan teman-temannya. “Jangan bohong, kami melihat ayahmu mengamen di pasar kemarin, coba saja tanyakan padanya!”, jelas teman-temannya lagi. Adi menangis, dia bergegas menuju kelas.

Sepulangnya dari sekolah dia mencoba membuktikan omongan temen-temannya. Dilihatnya sang ayah sedang mengamen di pasar. Saat itu dia melihat sang ayah sedang diolok-olok oleh pemilik sebuah toko. Dalam hatinya dia bersedih, betapa besar perjuangan ayahnya untuk menyekolahkannya. Adi bergegas pulang menuju rumah.

Malam itu ketika dia belajar dihentikannya sejenak aktifitasnya membaca buku. Di berkata kepada sang ayah, “Yah, jujurlah denganku, sebenarnya ayah kerja apa?”. Sang ayah kebingungan untuk menjawab, di satu sisi dia tak ingin berbohong namun disisi lain dia tak ingin anaknya tahu tentang pekerjaannya. “Ayah kerja di pabrik nak, memangnya kenapa?”, jawab sang ayah. “Jangan berbohong Yah, siang tadi aku melihat Ayah mengamen di....”, jelas Adi tertahan. “Maafkan Ayah nak, sudah membuatmu malu dengan pekerjaan ini, Ayah lakukan ini untuk pendidikanmu”, kata Pak Marjo sambil meneteskan air mata. “Ayah, sungguh aku tidak malu sedikitpun akan pekerjaanmu, aku bangga melihat pengorbananmu untukku dan aku berjanji akan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu”, sahut anaknya lagi.

Mereka berbaur dalam kehangatan kasih sayang di malam itu. Hingga saat pagi menjelang, mereka melanjutkan kembali aktifitas masing-masing. Dalam perjalanan ke sekolah Adi berkata pada Ayahnya, “Yah aku ingin ikut mengamen denganmu, bolehkan?”. “Kamu sekolah yang rajin saja nak, itu sudah cukup bagi Ayah”, jawab sang Ayah. “Aku tetap sekolah, tapi sepulang sekolah aku menemanimu mengamen”, kata Adi dengan wajah memelas. Sang Ayah tak kuasa menolak permintaan anaknya.

Hingga pada akhirnya mereka berdua selalu mengamen bersama. Susah senang saat mengamen mereka jalani bersama. Hingga suatu hari Pak Marjo sakit keras dan tak lagi bisa mengamen untuk mencari uang. Adi setia mendampingi Ayahnya. “Nak hari ini kamu Ujian Sekolah kan? Berangkatlah, biarkan Ayah disini sendiri, Ayah tidak apa-apa”, kata Pak marjo pada anaknya. “Tidak yah, aku menemanimu saja disini”, jawab anaknya memohon. “Sungguh aku lebih bahagia jika dirimu pergi menuntut ilmu daripada menungguiku disini. Pendidikan itu sangatlah penting untuk masa depanmu”, sahut ayahnya lagi. Sambil menahan air mata, Adi menuruti perintah ayahnya untuk pergi ke sekolah.

Dengan penuh semangat dikerjakannya soal-soal tes di hari terakhir tes semester hari ini. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk ayahnya. Selesai mengerjakan tes, dia bergegas pulang. Setelah sampai di rumah dia menghampiri Ayahnya. Dibangunkannya sang Ayah untuk segera minum obat. Namun ayahnya tak menyahut. Digoyangkannya tubuh Ayahnya, namun tak ada respon. Ketika dia sadari bahwa Ayahnya telah tiada, pergi meninggalkan Adi kecil sendirian. Air mata menetes dari mata kecilnya. Sungguh hal yang teramat berat untuk diterimanya dalam usianya yang masih dini. Kini tiada lagi yang menemaninya berjuang dalam hidup, semua harus dijalaninya sendiri.

Tujuh hari setelah ayahnya meninggal, ditemukannya sebuah kertas terselip dalam lemari bajunya. Dibukanya kertas itu yang ternyata berisi pesan dar ayahnya sebelum meninggal. “Nak jika kelak ayah tak lagi bisa menemani tidurmu, maafkan ayah. Jika kelak ayah tiada lagi bisa menjadi orang yang selalu menjadi teman dalam hidupmu maka maafkanlah ayah. Mungkin hidup ayah tiada lama lagi. Di saat kau membaca pesan ayah ini, ayah mohon berjanjilah untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Belajarlah dengan rajin untuk menggapai masa depanmu. Pendidikan adalah jalan untuk menggapai cita-citamu. Sungguh jika ayah masih bisa bertahan, ayah akan terus berjuang untuk pendidikanmu”.  Seketika air mata Adi menetes. Dia sangat terharu membaca pesan dari ayahnya. Dalam hatinya dia berjanji untuk rajin belajar demi menggapai cita-citanya juga demi memenuhi amanah dari sang ayah.

Tahun demi tahun berlalu hingga saatnya Adi lulus SMA. Waktu yang cukup panjang di lewati tanpa kehadiran sang Ayah. Dalam sekolahnya, Adi selalu mendapat beasiswa sehingga tak perlu bingung memikirkan biaya sekolahnya. Dia mendapatkan juara satu dan berhak melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Negeri tanpa biaya alias gratis. Dia masuk ke jurusan kedokteran, seperti apa yang dia cita-citakan dulu. Dalam sambutannya sebagai siswa berprestasi disampaikannya bahwa semua yang dicapainya kini adalah untuk Ayahnya. Ayah yang selalu berjuang di tengah badai kerasnya kehidupan yang mereka alami. Ayah yang selalu berjuang untuk pendidikannya.

Dilihatnya sekilas bayangan ayahnya tersenyum melihatnya. Air matanya menetes tanpa mampu Adi cegah. Adi yakin, Ayahnya pasti bangga di sana. Kini tiba saatnya dia melanjutkan perjuanggannya menjadi seorang Dokter yang kelak akan bermanfaat untuk orang-orang yang tak mampu seperti dirinya.

oleh: sulaiman_el fatih

1 komentar: