Minggu, 10 Juni 2012

Etika Komunikasi Lintas Budaya


Antropolog Edward T. Hall (1973) berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah  budaya. Dengan kata lain, “tak mungkin memikirkan komunikasi tanpa memikirkan konteks dan makna kulturnya” (Kress,1993:13). Implisit dalam konsep komunikasi adalah etika komunikasi yang harus dipenuhi ketika pebisnis berkomunikasi dengan pebisnis lainnya dari budaya yang berbeda. Etika adalah standar-standar moral yang mengatur perilaku kita: bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak (Verderber, 1978:313). Etika biasanya berkaitan dengan penilaian tentang perilaku benar atau tidak benar, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas, yang berguna tidak berguna, dan yang harus dilkukan atau tidak boleh dilakukan.
Berbagai aspek etika komunikasi bisnis, seperti bagaimana kita memanggil nama, kenalan, meyapa, berjanji, melakukan presentasi, melakukan negosiasi, melakukan kontrak, semua itu berkaitan dengan budaya. Jadi, tidak ada etika komunikasi bisnis yang universal.
Kerumitan Etika Bahasa Verbal
Etika berbicara, seperti dikemukaakn Lewis (1996) bervariasi dalam bisnis. Misalnya, umumnya orang Jerman dan Swedia adalah pendengar yang baik. Namun tidak demikian halnya dengan orang Italia dan orang Spanyol; mereka malah sering memotong pembicaraan dengan bahasa tubuh dan isyarat tangan yang hidup dan terkesan berlebihan. Di Jepang dan di Finlandia, diam adalah suatau bagaian integral dalam percakapan; jeda dianggap sebagai istirahat, ramah, dan pantas.
Kesulitan bisa muncul saat kita pertama kali betemu dengan calon mitra bisnis, bagaimana kita harus menyapa, menggunakan gelarnya, untuk menghormatinya atau memanggil nama pertamanya supaya cepat dan akrab.

Kerumitan Etika Bahasa Nonverbal
Sebagaimana juga bahasa verbal, bahasa non verbal seperti sikap tubuh, gerak-gerak, sentuhan, ekspresi wajah, senyuman, kontak mata, nada suara, diam, pakaian, penggunaan ruang, konsep waktu, pengendalian emosi, dll yang dianut suatu kelompok budaya juga sangat rumit dan berbeda dari suatu budaya ke budaya lainnya. Baik disadari ataupun tidak, seringkali perilaku-perilaku nonverbal tersebut merupakan bagian dari etika komunikasi yang harus dipenuhi dalam proses komunikasi bisnis.Pesan nonverbal paling bermakna adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata.
Perbedaan Orientasi Nilai Budaya
Dalam negosiasi antarbudaya, proses komunikasi yang terjadi jelas lebih rumit daripada dalam negosiasi dengan orang-orang yang berbeda budaya sama. Dalam hal ini, idealnya negosiasi harus memahami bahasa verbal, bahasa nonverbal dan nilai-nilai lain yang dianut mitra bisnis mereka, sehingga mereka menjadi peka terhadap perbedaan budaya, menyadari bagaimana perbedaan tersebut memengaruhi proses negosiasi yang akan mereka lakukan dari awal hingga akhir (mulai dari perkenalan hingga penandatanganan persetujuan bisnis yang mungkin memakan waktu relatif lama). Problemnya adalah bahwa apa yang dianggap perilaku baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan dalam suatu budaya seringkali dipersepsikan berbeda atau bahkan bertentangan dengan budaya lain. Misalnya, mamanggil nama pertama kepada atasan di Indonesia dianggap tidak sopan, seperti juga di Jepang dan di Korea, sementara hal tersebut biasa saja di Amerika atau di Australia.
Tidak berlebihan bila perbedaan-perbedaan dalam orientasi nilai budaya juga dapat menimbulkan kesalah pahaman dalam berbagai perilaku dan presentasi bisnis. Banyak kegagalan manajemen dan bisnis yang dialami para manajer atau pengusaha disebabkan karena ketidak mampuan untuk memahami bahsa verbal, non verbal, dan nilai-nilai yang dianut mitra bisnis mereka. Sikap mereka yang berorientasi pada nilai-nilai budaya sendiri dan kurang memperhatikan nilai-nilai budaya calon mitra bisnis mereka.
Masalah akan timbul bila etika komunikasi suatu pihak dihadapkan kepada pihak lain. Lewis (1996) menggambarkan bagaimana konsep kebenaran berada antara suatu bangsa dengan bangsa lainnya, yang jug dapat berlaku dalam konteks bisnis.
Kerumitan komunikasi didasari oleh fakta bahwa komunikasi manusia bersifat omnipresent (ada di mana-mana). Karena komunikasi manusia itu pelik, maka etika komunikasi manusia juga pelik. Kita biasanya menilai etika komunikasi kita sendiri berdasarkan niat yang kita miliki. Namun ketika kita menilai etika etika komuniakasi orang lain, kita menilai etika komunikasi mereka berdasarkan tindakan-tindakan mereka yang kasat mata. Biasanya niat yang sama mungkin diwujudkan lewat tindakan yang berbeda, atau tindakan yang sama mungkin berdasarkan niat yang berbeda.
Selain itu komuniksai terddiri dari berbagai konteks. Ada komuniksai antarpersonal (dua orang), komuniksai kelompok kecil, komunikasi publik, komunikasi organisasi, komunikasi massa dan komunikasi anatarbudaya (Tubbs dan Moss, 1994). Pesannya bisa verbal (kata-kata) dan nonverbal seperti ekspresi muka, isyarat tangan, intonasi, bahkan juga diam. Etika komunikasi menjadi musykil karena kita sulit menerapkan suatu standar untuk semua situasi komunikasi, pada setiap waktu dan dalam setiap budaya.
Dalam konteks inilah kita perlu mempelajari etika komuniksi bisnis lintas budaya yang elibatkan komunikasi tatap muka. Kenyataanya, di dunia bisnis kemajuan teknologi komunikasi seperti komputer, internet, konferensi lewat video, dan telepon seluler tercanggih sekalipun, tidak otomatis membuat komunikasi tatap muka tidak penting, karena bentuk komuikasi inilah yang paling sempurna, yang memungkinkan kita memupuk keakraban dan kehangatan dengan sesama kita.
Sehingga komunikasi langsung ini dapat memupuk keakraban dan kehangatan dengan sesama kita. Tanpa komunikasi tatap muka, kemanusiaan kita tereduksi. Kita menjadi terasing dengan lingkungan sendiri dan “linglung”.  Dalam era bisnis abad ke-21, para pebisnis tetap merasa perlu untuk bertemu dan berunding secara tatap muka, meskipun mereka juga menggunakan peralatan komunikasi yang canggih.
 Sumber: Dedy Mulyana. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Bandung.: PT. Remaja Rosda Karya. (Hal. 2-14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar