Antropolog Edward T. Hall (1973) berpendapat bahwa budaya adalah
komunikasi dan komunikasi adalah budaya.
Dengan kata lain, “tak mungkin memikirkan komunikasi tanpa memikirkan konteks
dan makna kulturnya” (Kress,1993:13). Implisit dalam konsep komunikasi adalah
etika komunikasi yang harus dipenuhi ketika pebisnis berkomunikasi dengan
pebisnis lainnya dari budaya yang berbeda. Etika adalah standar-standar moral
yang mengatur perilaku kita: bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang
lain bertindak (Verderber, 1978:313). Etika biasanya berkaitan dengan penilaian
tentang perilaku benar atau tidak benar, yang baik atau tidak baik, yang pantas
atau tidak pantas, yang berguna tidak berguna, dan yang harus dilkukan atau
tidak boleh dilakukan.
Berbagai aspek etika komunikasi bisnis, seperti bagaimana kita
memanggil nama, kenalan, meyapa, berjanji, melakukan presentasi, melakukan
negosiasi, melakukan kontrak, semua itu berkaitan dengan budaya. Jadi, tidak
ada etika komunikasi bisnis yang universal.
Kerumitan Etika Bahasa Verbal
Etika berbicara, seperti dikemukaakn Lewis (1996) bervariasi dalam
bisnis. Misalnya, umumnya orang Jerman dan Swedia adalah pendengar yang baik.
Namun tidak demikian halnya dengan orang Italia dan orang Spanyol; mereka malah
sering memotong pembicaraan dengan bahasa tubuh dan isyarat tangan yang hidup
dan terkesan berlebihan. Di Jepang dan di Finlandia, diam adalah suatau bagaian
integral dalam percakapan; jeda dianggap sebagai istirahat, ramah, dan pantas.
Kesulitan bisa muncul saat kita pertama kali betemu dengan calon
mitra bisnis, bagaimana kita harus menyapa, menggunakan gelarnya, untuk
menghormatinya atau memanggil nama pertamanya supaya cepat dan akrab.
Kerumitan Etika Bahasa Nonverbal
Sebagaimana juga bahasa verbal, bahasa non verbal seperti sikap
tubuh, gerak-gerak, sentuhan, ekspresi wajah, senyuman, kontak mata, nada
suara, diam, pakaian, penggunaan ruang, konsep waktu, pengendalian emosi, dll
yang dianut suatu kelompok budaya juga sangat rumit dan berbeda dari suatu
budaya ke budaya lainnya. Baik disadari ataupun tidak, seringkali
perilaku-perilaku nonverbal tersebut merupakan bagian dari etika komunikasi
yang harus dipenuhi dalam proses komunikasi bisnis.Pesan nonverbal paling
bermakna adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata.
Perbedaan Orientasi Nilai Budaya
Dalam negosiasi antarbudaya, proses komunikasi yang terjadi jelas
lebih rumit daripada dalam negosiasi dengan orang-orang yang berbeda budaya
sama. Dalam hal ini, idealnya negosiasi harus memahami bahasa verbal, bahasa
nonverbal dan nilai-nilai lain yang dianut mitra bisnis mereka, sehingga mereka
menjadi peka terhadap perbedaan budaya, menyadari bagaimana perbedaan tersebut
memengaruhi proses negosiasi yang akan mereka lakukan dari awal hingga akhir
(mulai dari perkenalan hingga penandatanganan persetujuan bisnis yang mungkin
memakan waktu relatif lama). Problemnya adalah bahwa apa yang dianggap perilaku
baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan dalam suatu
budaya seringkali dipersepsikan berbeda atau bahkan bertentangan dengan budaya
lain. Misalnya, mamanggil nama pertama kepada atasan di Indonesia dianggap
tidak sopan, seperti juga di Jepang dan di Korea, sementara hal tersebut biasa
saja di Amerika atau di Australia.
Tidak berlebihan bila perbedaan-perbedaan dalam orientasi nilai
budaya juga dapat menimbulkan kesalah pahaman dalam berbagai perilaku dan
presentasi bisnis. Banyak kegagalan manajemen dan bisnis yang dialami para
manajer atau pengusaha disebabkan karena ketidak mampuan untuk memahami bahsa
verbal, non verbal, dan nilai-nilai yang dianut mitra bisnis mereka. Sikap
mereka yang berorientasi pada nilai-nilai budaya sendiri dan kurang
memperhatikan nilai-nilai budaya calon mitra bisnis mereka.
Masalah akan timbul bila etika komunikasi suatu pihak dihadapkan
kepada pihak lain. Lewis (1996) menggambarkan bagaimana konsep kebenaran berada
antara suatu bangsa dengan bangsa lainnya, yang jug dapat berlaku dalam konteks
bisnis.
Kerumitan komunikasi didasari oleh fakta bahwa komunikasi manusia
bersifat omnipresent (ada di mana-mana). Karena komunikasi manusia itu
pelik, maka etika komunikasi manusia juga pelik. Kita biasanya menilai etika
komunikasi kita sendiri berdasarkan niat yang kita miliki. Namun ketika kita
menilai etika etika komuniakasi orang lain, kita menilai etika komunikasi
mereka berdasarkan tindakan-tindakan mereka yang kasat mata. Biasanya niat yang
sama mungkin diwujudkan lewat tindakan yang berbeda, atau tindakan yang sama
mungkin berdasarkan niat yang berbeda.
Selain itu komuniksai terddiri dari berbagai konteks. Ada
komuniksai antarpersonal (dua orang), komuniksai kelompok kecil, komunikasi
publik, komunikasi organisasi, komunikasi massa dan komunikasi anatarbudaya
(Tubbs dan Moss, 1994). Pesannya bisa verbal (kata-kata) dan nonverbal seperti
ekspresi muka, isyarat tangan, intonasi, bahkan juga diam. Etika komunikasi
menjadi musykil karena kita sulit menerapkan suatu standar untuk semua situasi
komunikasi, pada setiap waktu dan dalam setiap budaya.
Dalam konteks inilah kita perlu mempelajari etika komuniksi bisnis
lintas budaya yang elibatkan komunikasi tatap muka. Kenyataanya, di dunia
bisnis kemajuan teknologi komunikasi seperti komputer, internet, konferensi
lewat video, dan telepon seluler tercanggih sekalipun, tidak otomatis membuat
komunikasi tatap muka tidak penting, karena bentuk komuikasi inilah yang paling
sempurna, yang memungkinkan kita memupuk keakraban dan kehangatan dengan sesama
kita.
Sehingga komunikasi langsung ini dapat memupuk keakraban dan
kehangatan dengan sesama kita. Tanpa komunikasi tatap muka, kemanusiaan kita
tereduksi. Kita menjadi terasing dengan lingkungan sendiri dan “linglung”. Dalam era bisnis abad ke-21, para pebisnis
tetap merasa perlu untuk bertemu dan berunding secara tatap muka, meskipun
mereka juga menggunakan peralatan komunikasi yang canggih.
Sumber: Dedy Mulyana. 2010. Komunikasi
Lintas Budaya. Bandung.: PT. Remaja Rosda Karya. (Hal. 2-14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar