Jumat, 17 Juli 2020

Opini: Tradisi Nyadranan Tetap Eksis Di Tengah Kemajuan Teknologi



Tradisi Nyadranan Tetap Eksis Di Tengah Kemajuan Teknologi
Oleh: Navida Nur Hidayah

Salah satu tradisi Jawa-Islam yang melekat pada masyarakat adalah tradisi Nyadranan yang bertujuan untuk menghormati orangtua atau sedulur (saudara) yang telah meninggal. Pada umumnya tradisi ini dilakukan dengan cara ziarah kubur dan mendoakan arwah Kerabat yang sudah meninggal. Nyadranan juga bisa dilakukan dengan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama. Nyadranan merupakan suatu bentuk tradisi layaknya kenduri yang menggunakan perlengkapan seperti sajian dalam bentuk besekan. Nydaranan memiliki makna
khususnya bagi masyarakat setempat sehingga masyarakat yakin dan percaya saat tradisi ini berlangsung makanan seperti kolak, ketam ,apem dan perlengkapan lainya harus ada dan wajib ada.
Nyadranan sendiri berasal dari kata bahasa sansekerta” Sraddha” yang artinya keyakinana, percaya atupun kepercayaan. (Sumber :Wijanarko, Sejarah Singkat Kanjeng Panembahan Bodho) Di dalam konteks jawa kata nyadranan dimaknakan sebagai sraddha yaitu ruwah sya’ban sehingga tradisi nyadranan menjadi keharusan masyarakat pendak untuk menjalankan meskipun hanya setaun sekali. Tradisi sraddha bisa di sebut juga bersih makam. Tradisi ini lebih dikenal masyarakat sebagai tradisi nyadranan.
Tradisi nyadran merupakan sebuah budaya yang dilaksanakan setiap tahun di daerah Pendak, Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakar ta ketika menjelang bulan ramadhan. Awal prosesi nyadranan masih kental dengan tradisi Hindu-Budha. Namun munculnya prosesi islamisasi di Indonesia yang dipelopori oleh wali songo menyebarkan agama Islam di masyarakat nusantara terutama Jawa sehingga kebudyaan dan kepercayaan masyarakat jawa di warnai dengan ajaran islam termasuk tradisi nyadranan. Tradisi nydranan awalnya kegiatan yang bertujuan untuk mengenang Tribhuwana Tungga Dewi, namun sering berjalanya waktu tradisi ini mengalami perubahan dimana dahulu dilaksankan untuk mengenang Tribuwana namun sekarang lebih bersifat gotong royong, silaturahim dan kegiatan bersih-bersih makam serta kenduri dengan doa-doa islami tausyiah.
Untuk melaksanakan tradisi Nyadranan membutuhkan waktu yang sangat lama karena untuk mengadakan tradisi ini membutuhkan desa-desa sekitarnya sehingga perlu pertemuan panitia dan latihan berulang-ulang. Puncak acara tradisi Nyadranan bertepat pada hari senin sebelum puasa setelah tanggal 20. Namun sebelum acara puncak tradisi ini dimulai pada hari minggu. Acara pada hari minggu membaca 30 juz al-Qur’an yang di pimpin oleh seorang Kyai.
Pada hari puncak yaitu hari senin pagi masih diadakan acara talil, doa dan pengajian sehingga puncak dari acara ini pada pukul satu siang dimana diadakan arak jodhang atau bregodo. Acara arak jodhang dimulai dari Blali Desa Wijirejo dan diakhiri di pendopo Panemban Bodho. Dalam acara ini setiap pedukuhan yang ikut berpartisipasi dalam acara arak jodhang dipimpin oleh dukuh masing-masing, Setiap pedukuhan yang mengikuti acara ini terdapat satu pedukuhan diikuti lebih dari 70 orang. Dalam gunukan berisi nasi uduk, beserta bumbubumbu, ikung ayam jawa yang dinamakan jodhang, sedangkan gunungan yang berbentuk kerucut berisi sayuran, buahbuahan, dan makanan tradisional.
Dalam tradisi ini memiliki nilai atau makna tersendiri dimana di dalam gunungan yang berisi sayuran dan buah memiliki aturan dalam menaruhnya. Namun dengan perekembangan zaman yang semakin modern apalagi di era millenial ini masyarakat sekitar mengalami perubahan dimana jarang masyarakat memperhatikan tentang hal itu. Sehingga masyarakat sekitar hanya niat dan memberikan hasil alam berwujud gunungan yang intinya hanya bersedekah sebagi ucapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan banyak rezeki dan memberikan hasil alam.
Tradisi Nyadranan memiliki dampak tersendiri di masa sekarang dimana masyarakat yang terlibat dapat berpartisipasi dan saling gotong royong, menyiapkan acara tersebut mampu meningkatkan kerukunan dan mempererat solidaritas masyarakat di daerah Makam
sewu. Walaupun di era millenial tradisi nyadranan masih eksis di kalangan masyarakat sekitar karena keunikannya. Tradisi ini dapat menarik wisatawan untuk melihat, ataupun mengabadikan setiap rangkaian acara berlangsung sehingga secara tidak langsung masyarakat sekitar dapat memanfaatkan untuk berdagang dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Oleh karena itu kita sebagai warga negara Indonesia terutama generasi muda sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan setiap kebudayaan yang ada di negara ini agar tidak terbawa arus budaya dari luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar