Tradisi Nyadranan Tetap Eksis Di
Tengah Kemajuan Teknologi
Oleh: Navida Nur Hidayah
Salah satu
tradisi Jawa-Islam yang melekat pada masyarakat adalah tradisi Nyadranan yang
bertujuan untuk menghormati orangtua atau sedulur (saudara) yang telah meninggal.
Pada umumnya tradisi ini dilakukan dengan cara ziarah kubur dan mendoakan arwah
Kerabat yang sudah meninggal. Nyadranan juga bisa dilakukan dengan doa bersama
yang dipimpin oleh tokoh agama. Nyadranan merupakan suatu bentuk tradisi layaknya
kenduri yang menggunakan perlengkapan seperti sajian dalam bentuk besekan.
Nydaranan memiliki makna
khususnya bagi masyarakat setempat sehingga
masyarakat yakin dan percaya saat tradisi ini berlangsung makanan seperti
kolak, ketam ,apem dan perlengkapan lainya harus ada dan wajib ada.
Nyadranan
sendiri berasal dari kata bahasa sansekerta” Sraddha” yang artinya keyakinana,
percaya atupun kepercayaan. (Sumber :Wijanarko, Sejarah Singkat Kanjeng Panembahan
Bodho) Di dalam konteks jawa kata nyadranan dimaknakan sebagai sraddha yaitu
ruwah sya’ban sehingga tradisi nyadranan menjadi keharusan masyarakat pendak
untuk menjalankan meskipun hanya setaun sekali. Tradisi sraddha bisa di sebut
juga bersih makam. Tradisi ini lebih dikenal masyarakat sebagai tradisi
nyadranan.
Tradisi
nyadran merupakan sebuah budaya yang dilaksanakan setiap tahun di daerah
Pendak, Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakar ta ketika menjelang bulan ramadhan.
Awal prosesi nyadranan masih kental dengan tradisi Hindu-Budha. Namun munculnya
prosesi islamisasi di Indonesia yang dipelopori oleh wali songo menyebarkan agama
Islam di masyarakat nusantara terutama Jawa sehingga kebudyaan dan kepercayaan
masyarakat jawa di warnai dengan ajaran islam termasuk tradisi nyadranan.
Tradisi nydranan awalnya kegiatan yang bertujuan untuk mengenang Tribhuwana
Tungga Dewi, namun sering berjalanya waktu tradisi ini mengalami perubahan
dimana dahulu dilaksankan untuk mengenang Tribuwana namun sekarang lebih bersifat
gotong royong, silaturahim dan kegiatan bersih-bersih makam serta kenduri dengan
doa-doa islami tausyiah.
Untuk
melaksanakan tradisi Nyadranan membutuhkan waktu yang sangat lama karena untuk
mengadakan tradisi ini membutuhkan desa-desa sekitarnya sehingga perlu
pertemuan panitia dan latihan berulang-ulang. Puncak acara tradisi Nyadranan
bertepat pada hari senin sebelum puasa setelah tanggal 20. Namun sebelum acara
puncak tradisi ini dimulai pada hari minggu. Acara pada hari minggu membaca 30
juz al-Qur’an yang di pimpin oleh seorang Kyai.
Pada hari
puncak yaitu hari senin pagi masih diadakan acara talil, doa dan pengajian
sehingga puncak dari acara ini pada pukul satu siang dimana diadakan arak jodhang
atau bregodo. Acara arak jodhang dimulai dari Blali Desa Wijirejo dan diakhiri
di pendopo Panemban Bodho. Dalam acara ini setiap pedukuhan yang ikut
berpartisipasi dalam acara arak jodhang dipimpin oleh dukuh masing-masing,
Setiap pedukuhan yang mengikuti acara ini terdapat satu pedukuhan diikuti lebih
dari 70 orang. Dalam gunukan berisi nasi uduk, beserta bumbubumbu, ikung ayam
jawa yang dinamakan jodhang, sedangkan gunungan yang berbentuk kerucut berisi
sayuran, buahbuahan, dan makanan tradisional.
Dalam
tradisi ini memiliki nilai atau makna tersendiri dimana di dalam gunungan yang
berisi sayuran dan buah memiliki aturan dalam menaruhnya. Namun dengan perekembangan
zaman yang semakin modern apalagi di era millenial ini masyarakat sekitar
mengalami perubahan dimana jarang masyarakat memperhatikan tentang hal itu.
Sehingga masyarakat sekitar hanya niat dan memberikan hasil alam berwujud
gunungan yang intinya hanya bersedekah sebagi ucapan rasa syukur kepada Tuhan
yang telah memberikan banyak rezeki dan memberikan hasil alam.
Tradisi
Nyadranan memiliki dampak tersendiri di masa sekarang dimana masyarakat yang
terlibat dapat berpartisipasi dan saling gotong royong, menyiapkan acara
tersebut mampu meningkatkan kerukunan dan mempererat solidaritas masyarakat di
daerah Makam
sewu. Walaupun di era millenial
tradisi nyadranan masih eksis di kalangan masyarakat sekitar karena
keunikannya. Tradisi ini dapat menarik wisatawan untuk melihat, ataupun
mengabadikan setiap rangkaian acara berlangsung sehingga secara tidak langsung
masyarakat sekitar dapat memanfaatkan untuk berdagang dan meningkatkan
perekonomian masyarakat. Oleh karena itu kita sebagai warga negara Indonesia
terutama generasi muda sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan setiap
kebudayaan yang ada di negara ini agar tidak terbawa arus budaya dari luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar