Jumat, 08 April 2011

Khitanan Perempuan

Tiap masyarakat memiliki ragam budayanya sendiri, seperti khitanan. Namun kali ini bukan laki-laki saja yang dikhitanan, tetapi juga perempuan seperti yang dilakukan orang-orang Afrika. Kebudayaan ini sering dianggap menyimpang oleh beberapa kalangan dan adanya ketidaksetaraan gender.

Pengkhitanan perempuan (female circumcision) merupakan hal yang lazim pada kaum muslim Afrika dan beberapa daerah di Malaysia dan Indonesia. Praktek yang dikenal oleh orang barat sebagai pemotongan alat kelamin perempuan ini dikenal pula sebagi pemotongan klitoris, kliterodektomi, infibulasi, latau abiadektomi tergantung pada jaringan yang diambil. Sekitar 100-200 juta perempuan dunia telah dikhitan. Di Mesir tercatat 97% perempuan telah dikhitan.

Dalam beberapa kebudayaan yang dipotong hanya klitoris sang gadis, sedangkan kebudayaan lain diambil lebih banyak. Di Sudan, Orang Nubia hampir memotong seluruh alat kelamin perempuan, kemudian menjahit bagian luar yang tersisa. Mereka mengikat kaki para gadis dari tumit sampai pinggang sampai beberapa minggu seraya jaringan menutupi vagina. Mereka meninggalkan suatu celah kecil berukuran pensil untuk saluran urine dan menstruasi.

Rentan waktu khitanan tiap wilayah pun berbeda. Ada yang empat sampai belasan tahun, sepuluh hari setelah kelahiran, setelah akil baliq. Pembedahan biasanya dilakukan tanpa anestesi. Rasa sakit yang luar biasa menyebabkan orang dewasa harus memegangi si gadis. Di daerah perkotaan, khitanan dilakukan dengan operasi sedangkan di desa biasanya di lingkungan hunian perempuan.

Shock, pendarahan, infeksi, kemandulan, dan kematian adalah beberapa risiko yang ditanggung. Efek samping yang lazim ialah kejangan vagina, rasa sakit ketika berhubungan seks, dan ketiadaan orgasme. Infeksi jalur urine pun terjadi manakala urine dan cairan menstruasi menumpuk di belakang celah yang sempit.

Jika seorang perempuan menikah, celahnya dipotong menjadi lebih lebar. Dan sebelum seorang wanita melahirkan, celahnya lebih diperlebar lagi. Setelah melahirkan, vagina ditutup lagi dengan jahitan, suatu siklus pembedahan buka–tutup yang berulang tiap kelahiran.

Apa alasan muncul kebiasaan seperti ini? beberapa kelompok percaya bahwa pengkhitanan akan mengurangi hasrat seks perempuan, sehingga lebih memungkinkan seorang perempuan untuk tetap perawan sampai waktu menikah dan kemudian akan tetap setia pada suaminya. Orang lain berpandangan bahwa hal tersebut akan meningkatkan kesuburan dan kebersihan vagina.

Kaum feminis menganggap pengkhitanan perempuan sebagai suatu penyikasaan ritual untuk mengendalikan seksualitas perempuan. Mereka menunjukkan bahwa laki–laki mendominasi masyarakat yang mempraktekkannya. Para ibu ikut menyetujui operasi ini karena dalam masyarakat tersebut seorang perempuan yang tidak dikhitan dianggap tidak suci dan tidak di perkenankan menikah. Para nenek bersikukuh agar kebiasan tersebut tetap diteruskan.

Perubahan tengah berlangsung pada bangsa–bangsa yang mempraktekkan pengkhitanan perempuan. Dalam suatu kasus di Kenya, dua gadis muda memperoleh perlindungan pengadilan yang melarang ayah mereka untuk menyunat mereka.

Referensi
Henslin, James M. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga

*oleh: iis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar