Minggu, 10 April 2011

Sayap Kecilku

Rumah itu setengah menjingga. Kala senja tak punya banyak waktu, dan para muadzin sudah siap untuk konsernya. Mulai terasa dingin dan bayangku kian mendekat.
“Aku pulang”
“Kakak sudah pulang! Bawa oleh-oleh apa, Kak?
“Gak ada.”
“Ah, Kakak pasti bohong. Coba lihat tasnya.” Cantik yang bersemangat terus menarik, berusaha meraih dan mengintip tasku. Aku tidak peduli. Aku terus berjalan. Namun dia masih berharap, merengek, lalu menangis.
“Apa sih? Sudah Kakak Bilang, gak ada! Kamu tuh dibilangi bandel ya!”
“Tapi Kak, Cantik kan cuma mau lihat.”
“Kakak ini capek. Lagian dibilangi gak ada, ya gak ada. Udah deh, gak usah cengeng!”
Ku hentak pintu hingga tertutup. Tak peduli itu triplek ataupun kayu jati. Aku hanya lelah. muak, dan ingin istirahat. Tak kurasakan lagi kasur yang empuk. Namun itu cukup untuk buatku rileks dan menenangkan diri. Masih terdengar Cantik terisak, menahan tangis yang terlalu lama. Masa bodoh, toh bentar lagi dia juga capek. Ku perhatikan tiap bilik langit kamarku, dan terbawa lamun.

Sudah dua tahun ibu tidak pulang, mengadu nasib di negeri orang. Aku pun tak tahu bagaimana kabarnya. Jangankan uang, surat pun tak pernah datang. Sedangkan ayah, meninggal lima tahun yang lalu. Mati membusuk bersama alkohol di pinggir kali. Untung saja ditemukan warga, walaupun selang beberapa hari. Keadaan ini lalu memaksaku hidup mandiri. Aku pun tak lagi kuliah, demi menghemat pengeluaran. Aku bekerja di restoran kota sebagai pelayan. Aku juga kerap memberi les privat Matematika di kampung sebelah. Setidaknya ilmuku tidak ikut mati gara-gara berhenti kuliah. Sempat terbesit menjual rumah yang kini kami huni, lalu pindah hidup di kota. Namun, kuurungkan niat itu. Cantiklah yang membuatku bertahan. Dia adalah satu-satunya alasan untukku tetap hidup. Dia yang selama ini mendukung, menemani, dan menunggu aku pulang. Begitu banyak yang diberikan olehnya.

Tangis itu tak terdengar lagi. Aku merasa bersalah telah membentaknya. Aku pun pergi mencari toko terdekat. Satu boneka cukup untuk menebus dosaku hari ini. Aku kembali pulang. Ku tengok dia, telah tertidur pulas. Ku baringkan boneka itu tepat di sampingnya.
            “Maafin, Kakak. Selamat tidur. Mimpi indah adikku, Cantik.”

* oleh: malam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar