Meningkatnya Dispensasi Usia Pernikahan
Kepala KUA Moyudan, Sleman
Mulai tahun 2019, UU No. 16/2019 tentang perubahan
atas UU No. 1/1974 tentang perkawinan telah menaikkan usia minimal kawin
perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan demikian, usia kawin perempuan
dan laki-laki sama-sama 19 tahun. Namun, dalam UU Perkawinan tetap mengatur
izin dispensasi pernikahan di bawah usia 19 tahun.
Syaratnya, kedua orangtua calon mempelai meminta dispensasi ke pengadilan.
Pertimbangan adanya perubahan regulasi soal
batas usia pernikahan anak adalah UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang
mengatur bahwa seseorang yang berusia dibawah 18 tahun masih dalam kategori
anak. Oleh karena itu, UU Perkawinan harus sinkron dengan UU Perlindungan Anak,
alasan lain adalah meningkatnya pernikahan
anak.
Kepala KUA Moyudan Sleman, Bapak Dulrohman, S.Ag
mengatakan bahwa di Sleman sendiri banyak yang melakukan dispensasi usia
pernikahan, rata-rata alasannya adalah terjadinya kehamilan di luar nikah.
Dalam rentan waktu satu tahun selama 2020, di Sleman terdapat 184 kasus dispensasi usia pernikahan baik perempuan atau laki-laki, hampir 90 % karena terjadi kasus hamil di luar nikah.
Bapak Dulrohman S.Ag, dalam penuturanya saat di
wawancarai, ia mengatakan bahwa peningkatan dispensasi usia pernikahan juga
dibarengi dengan meningkatnya jumlah perceraian, yang mana rata-rata yang
melakukan perceraian adalah pasangan muda dengan usia pernikahan yang masih
baru.
Menikah membutuhkan kesiapan dalam berbagai
aspek, seperti mental, fisik serta finansial. Kesiapan mental diperlukan agar
mengurangi konflik dan perselisihan, pasti akan banyak hal-hal yang terjadi
dalam berumah tangga dan tidak semua hal berjalan baik, pasti ada permasalahan
di dalamnya.
Kesiapan fisik, jika fisik tidak siap dan
usia belum memenuhi akan berpengaruh terhadap kesehatan, apalagi dalam
berhubungan seksual, mengandung anak, dan melahirkan anak serta aktivitas lain
seperti bekerja dan urusan domestik.
Kesiapan finansial, tidak dipungkiri bahwa ekonomi merupakan faktor utama dalam berumah tangga, banyak kasus perceraian terjadi karena tidak stabilnya kondisi ekonomi sehingga menimbulkan konflik dalam hubungan keluarga.
Pemerintah, istansi pendidikan juga keluarga
harus turut serta berupaya untuk menurunkan angka pernikahan dini, dengan
melakukan sosialiasi mengenai pendidikan seks, sosialisasi pra nikah dan
sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi.
Pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi
seringkali dianggap tabu oleh masyrakat, anggapan ini muncul karena adanya
presepsi bahwa pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi sering diartikan
untuk mengajarkan seks bebas dan tidak ada gunanya karena akan membahayakan
anak.
Padahal untuk menanggulangi adanya kehamilan
yang tidak direncanakan dan untuk mengurangi seks bebas, sosialisasi soal
pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi sangat penting. Remaja akan tahu
apa saja konsekuensi atau risiko jika melakukan hubungan seksual dengan tidak
bijak.
Kesehatan reproduksi adalah hak semua warga
negara, hal ini diatur dalam undang-undang
Pasal 12 no (2) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi juga sudah diatur
materi apa saja yang harus disajikan kepada masyarakat. Seperti perilaku
seksual yang sehat dan aman, keluarga berencana, sistem, fungsi dan proses
reproduksi, hingga perilaku berisiko lain atau kondisi kesehatan lain yang
berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi. Serta, pemberian materi komunikasi,
informasi, dan edukasi ini tidak hanya dilaksanakan melalui proses pendidikan
formal (sekolah), melainkan juga proses pendidikan non-formal, serta kegiatan
pemberdayaan remaja sebagai pendidik sebaya atau konselor sebaya. Jadi,
seharusnya membahas soal kesehatan reproduksi tidak lagi menjadi hal yang tabu dan
seharusnya pemerintah dan institusi pendidikan turut serta mensosialisasikan
hal tersebut sebagai upaya peminimalisiran terjadinya kehamilan tidak
direncanakan dan pernikahan dini akibat berhubungan seksual dengan bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar