Menelisik Dunia Pendidikan Melalui Museum Dewantara Kirti Griya
YOGYAKARTA—Museum
Dewantara Kirti Griya (MDKG) merupakan rumah peninggalan sejarah Ki Hadjar Dewantara. Museum berbentuk memorial sebagai bentuk
berjalannya sejarah. Nama Museum ini berasal dari
“Dewantara” diambil dari bagian nama yakni nama Ki Hadjar Dewantara, Kirti yang berarti kerja atau hasil kerja , dan Griya berarti rumah.
“Museum ini berbentuk memorial sebagai bentuk berjalannya sejarah, dan
rumah hasil kerja Ki Hadjar Dewantara” kata
Dhrajat Iskandar selaku edukator museum.
Museum yang terletak di kompleks perguruan Tamansiswa, Jalan Tamansiswa No 31 Yogyakarta, sebagai
media yang menceritakan kehidupan Ki Hadjar Dewantara melalui foto dan
barang-barang yang ada di dalam museum. Berbagai perlengkapan kerja, koleksi
buku, kursi, meja, mesin ketik, salah satu instrumen gamelan dan properti lain
yang masih tertata rapi di dalam museum. “Di dalam museum ini selain terdapat
peninggalan tangible juga terdapat peninggalan intangible, misalnya ya
pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara”
kata Dhrajat.
Museum yang diresmikan sejak tahun 1970 ini tidak dapat dilepaskan dari
tokoh Ki Hadjar Dewantara. Membicarakan Ki Hadjar Dewantara berarti memahami
tentang berbagai hal, termasuk pemikiran-pemikiran beliau khususnya di dunia pendidikan. Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara sampai
saat ini masih digunakan di Tamansiswa, di mana sistem pendidikannya
mengedepankan kebudayaan lokal. Kesenian adalah ujung tombak pendidikan sesuai
dengan candra sengkala peresmian pendopo agung tamansiswa yang berbunyi
“Amboeko Raras Angesti Widji” yang sekaligus menjadi ciri khas sekolah
Tamansiswa, di mana melalui seni bukan menjadikan anak sebagai seniman, namun
lebih kepada mengolah jiwa keindahan pada diri melalui konsep budaya wirasa,
wirama serta wiraga.
“Dengan wiraga misal latihan 'nembang dan nari' secara tidak
langsung anak melakukan kegiatan motorik. Dengan wirama anak akan mengatur temponya, secara tidak langsung akan belajar
mengontrol diri.
Dan dengan wirasa anak belajar tentang
kepekaan terhadap temannya” ujar
Dhrajat.
Di sekolah Taman Siswa kebudayaan bukan lagi masuk dalam ekstrakurikuler,
namun tergabung dalam intrakurikuler. Selain sistem pendidikan yang
masih diterapkan, terdapat juga berbagai pemikiran Ki
Hadjar Dewantara yang terkenal. “Terdapat fatwa Ki Hadjar Dewantara yang sampai saat ini masih di gunakan,
misalnya Tut Wuri Handayani” jelas Dhrajat.
Tut Wuri Handayani sebagai salah satu semboyan dalam dunia pendidikan
yang paling terkenal. Semboyan yang
berartikan ‘mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh serta menguatkan’ tersebut, ,sampai
saat ini masih relevan diterapkan bagi seorang pendidik. Hal ini dapat dilihat dari sudut pendidik
di mana sebagai
pendidik harus mampu mengikuti dan mengawasi peserta didik . Di era saat ini sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara masih digunakan dalam
dunia pendidkan, salah satunya sistem among. Sistem yang menyokong kodrat alam
anak, pendidikan bukan semata mata hanya berorientasi mencari kepandaian, namun
berpusat terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sistem Among ini
mendidik jiwa merdeka sesuai kodrat alami kemampuan anak. Di era saat ini
pendidikan tidak lagi berorientasi kepada guru, namun menuntut anak untuk lebih
mandiri dalam arti bisa bereksplorasi terhadap kemampuan yang dimiliki
anak. Dalam sistem among ini peran guru
sebagai pendidik yakni mengawasi dan membimbing peserta didik.
“Di era millenial ini, tuntutan untuk peserta didik agar lebih
mandiri tentu sesuai dengan sistem among, yaitu
berlatih untuk mandiri, berusaha terlebih dahulu kemudian jika tidak
bisa baru di bantu” ujar Dhrajat. Berbicara tentang sistem pendidikan Ki Hadjar
Dewantara dan pendidikan di era millenial.
Sampai saat ini pemikiran Ki Hadjar di bidang pendidikan masih relevan.
Misalnya konsep Tri Kon selain sebagai pengembangan budaya, konsep ini juga sebagai pedoman untuk
tantangan pendidikan di era millenial.
Tri Kon; Kontinue yakni pengembangan kebudayaan yang dilakukan secara
berkelanjutan, Konvergensi yaitu memadukan kebudayaan bangsa sendiri dengan kebudayaan
asing (menyerap dengan seleksi atau memfilter) dan Konsentris yakni mengikuti
perkembangan zaman namun tidak kehilangan kepribadian kebudayaan masing-masing. “Konsep Tri Kon bisa membendung kebudayaan dari luar yang saat ini semakin
pesat dan kadang tidak sesuai dengan kebudayaan kita” tutup Dhrajat. (NRA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar