Selasa, 26 Juni 2018

Menelisik Dunia Pendidikan Melalui Museum Dewantara Kirti Griya


Menelisik Dunia Pendidikan Melalui Museum Dewantara Kirti Griya


             YOGYAKARTA—Museum Dewantara Kirti Griya (MDKG) merupakan rumah  peninggalan sejarah Ki Hadjar Dewantara.  Museum berbentuk memorial sebagai bentuk berjalannya sejarah. Nama Museum ini berasal dari “Dewantara” diambil dari bagian nama yakni nama Ki Hadjar Dewantara, Kirti yang berarti kerja atau hasil kerja , dan Griya berarti rumah.
“Museum ini berbentuk memorial sebagai bentuk berjalannya sejarah, dan rumah hasil kerja Ki Hadjar Dewantara” kata Dhrajat Iskandar selaku edukator museum.
      Museum yang terletak di kompleks perguruan Tamansiswa,  Jalan Tamansiswa No 31 Yogyakarta, sebagai media yang menceritakan kehidupan Ki Hadjar Dewantara melalui foto dan barang-barang yang ada di dalam museum. Berbagai perlengkapan kerja, koleksi buku, kursi, meja, mesin ketik, salah satu instrumen gamelan dan properti lain yang masih tertata rapi di dalam museum. “Di dalam museum ini selain terdapat peninggalan tangible juga terdapat peninggalan intangible, misalnya ya pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara”  kata Dhrajat.  
          Museum yang diresmikan sejak tahun 1970 ini tidak dapat dilepaskan dari tokoh Ki Hadjar Dewantara. Membicarakan Ki Hadjar Dewantara berarti memahami tentang berbagai hal, termasuk pemikiran-pemikiran beliau khususnya di dunia pendidikan. Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara sampai saat ini masih digunakan di Tamansiswa, di mana sistem pendidikannya mengedepankan kebudayaan lokal. Kesenian adalah ujung tombak pendidikan sesuai dengan candra sengkala peresmian pendopo agung tamansiswa yang berbunyi “Amboeko Raras Angesti Widji” yang sekaligus menjadi ciri khas sekolah Tamansiswa, di mana melalui seni bukan menjadikan anak sebagai seniman, namun lebih kepada mengolah jiwa keindahan pada diri melalui konsep budaya wirasa, wirama serta wiraga.
        “Dengan wiraga misal latihan 'nembang dan nari' secara tidak langsung anak melakukan kegiatan motorik. Dengan wirama anak akan mengatur temponya, secara tidak langsung akan belajar mengontrol diri. Dan dengan wirasa anak belajar tentang kepekaan terhadap temannya” ujar Dhrajat.
Di sekolah Taman Siswa kebudayaan bukan lagi masuk dalam ekstrakurikuler, namun tergabung dalam intrakurikuler. Selain sistem pendidikan yang masih diterapkan, terdapat juga berbagai pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang terkenal. “Terdapat fatwa Ki Hadjar Dewantara yang sampai saat ini masih di gunakan, misalnya Tut Wuri Handayani” jelas Dhrajat.
         Tut Wuri Handayani sebagai salah satu semboyan dalam dunia pendidikan yang  paling terkenal. Semboyan yang berartikan ‘mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh serta menguatkan’ tersebut, ,sampai saat ini masih relevan diterapkan bagi seorang pendidik. Hal ini dapat dilihat dari sudut pendidik di mana sebagai pendidik harus mampu mengikuti dan mengawasi peserta didik . Di era saat ini sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara masih digunakan dalam dunia pendidkan, salah satunya sistem among. Sistem yang menyokong kodrat alam anak, pendidikan bukan semata mata hanya berorientasi mencari kepandaian, namun berpusat terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sistem Among ini mendidik jiwa merdeka sesuai kodrat alami kemampuan anak. Di era saat ini pendidikan tidak lagi berorientasi kepada guru, namun menuntut anak untuk lebih mandiri dalam arti bisa bereksplorasi terhadap kemampuan yang dimiliki anak.  Dalam sistem among ini peran guru sebagai pendidik yakni mengawasi dan membimbing peserta didik.
           “Di era millenial ini, tuntutan untuk peserta didik agar lebih mandiri tentu sesuai dengan sistem among, yaitu  berlatih untuk mandiri, berusaha terlebih dahulu kemudian jika tidak bisa baru di bantu” ujar Dhrajat. Berbicara tentang sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan pendidikan di era millenial. Sampai saat ini pemikiran Ki Hadjar di bidang pendidikan masih relevan. Misalnya konsep Tri Kon selain sebagai pengembangan budaya,  konsep ini juga sebagai pedoman untuk tantangan pendidikan di era millenial. Tri Kon; Kontinue yakni pengembangan kebudayaan yang dilakukan secara berkelanjutan, Konvergensi yaitu memadukan kebudayaan bangsa sendiri dengan kebudayaan asing (menyerap dengan seleksi atau memfilter) dan Konsentris yakni mengikuti perkembangan zaman namun tidak kehilangan kepribadian kebudayaan masing-masing. “Konsep Tri Kon bisa membendung kebudayaan dari luar yang saat ini semakin pesat dan kadang tidak sesuai dengan kebudayaan kita” tutup  Dhrajat. (NRA)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar