Kesangsian
Secangkir Kopi
Oleh Desi Indriyani
Cakrawala menguning jingga
Menebar beku di jiwa
Kala langkah kian sesak menyela
Menenggak kopi hanyalah sandiwara
Kala kopi mengalir menuju usus dua belas jari
Menyerang kantuk hingga mati
Pahitnya terasa menari, diriku enggan tuk lari
Purworejo, 22 November 2019
Oleh Hesty Nadia Pratiwi
Ku mengarungi lautan menuju pulau
cerita
Menemukan seorang insan sedang
bercengkrama
Dengan penciptaannya yang begitu
mesra, sedang
Ku bingung kemana arah mencari
Waktu seakan mengejarku
Ku tak tahu bagaimana lagi
Detik demi detik
Hari demi hari
Seakan ku tak kunjung mencari
Menelusuri bumi yang kelam ini
Ku bingung
Apa arti semua ini
Kemana...kemana ku harus mencari
Lelah...ku tak sanggup menanti
Seakan terarah...
Langkah kaki berjalan tertata
rapi
Menyelinap ke kota para pencari
ilmu
Untuk memecah suatu misi...
Kembali pulang ke pulau awal
mengudara tinggi
Bersama burung besi, nampak jelas
gumpalan awan
Takjubku atas semua ini
Kota ini..kotanya para pejuang
negeri
Sampailah aku dititik ini..
Perjalanan, perjuanganku masih
panjang
Penuh liku dan rintang
Ku harus, harus terus melangkah
Tuk berjuang hingga menang dan
Pulang pun dengan tenang.
Resah
Oleh Daud Ibrahim
Malam biru berkawan bulan
setengah.
Binar indah bunga api merah.
Jadi penutup kisah dan awal
sebuah resah.
Sekilas bayang memandang hitam.
Di bibir jalanan tempat pejalan
kaki berdiri.
Menanti dia yang sudah sendiri.
Sendiri dia yang menanti sudah
pergi.
Sepasang mata yang dulu sampaikan
dogmanya pada hati.
Kini berbalik dan mulai membuka
kembali dialektika soalan lama.
Bisakah kamu melogikakan rasa?
Menjadikan satu antara benci dan
cinta?
Atau menempatkan dua cinta dalam
satu hati?
Atau jadikan hati sebagai tempat
dua benci?
Dialog panjang berjalan sepanjang
jalan.
Hati tetap ingin percaya,
walaupun mata sudah berbicara.
Yogyakarta,
14 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar